IESR: Tingkatkan keandalan listrik, dorong dekarbonisasi industri

Jakarta – Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan bahwa skema power wheeling dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) akan mempercepat adopsi energi terbarukan di Indonesia dan membantu mencapai target bauran energi terbarukan, dan mendukung net zero emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih awal.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menegaskan bahwa skema power wheeling adalah keniscayaan mengingat struktur pasar kelistrikan Indonesia yang saat ini dioperasikan oleh perusahaan tunggal di bawah pengawasan pemerintah.

“PLN sebagai pemegang wilayah usaha terintegrasi mendapatkan hak membangun dan mengoperasikan sistem transmisi, sementara pelaku usaha lain tidak mendapatkan hak tersebut. Oleh karena itu, jaringan listrik seharusnya dapat diakses oleh pihak lain untuk menyalurkan listrik dari pembangkit ke pengguna, yang pada gilirannya memberikan pendapatan bagi PLN melalui biaya sewa jaringan,” ujarnya, Rabu, 10 Juli.

IESR juga melihat bahwa penerapan skema power wheeling untuk energi terbarukan akan meningkatkan keandalan pasokan listrik dan efisiensi biaya operasional. Selain itu, skema ini dapat mendorong perluasan jaringan listrik, kerja sama antara wilayah usaha, serta memungkinkan aplikasi teknologi energi terbarukan yang lebih luas untuk mendukung dekarbonisasi sektor industri dan transportasi.

“Penerapan skema power wheeling untuk energi terbarukan juga merupakan langkah efisien untuk mengurangi biaya pengembangan infrastruktur transmisi dan distribusi, serta menekan biaya keandalan dengan mengoptimalkan infrastruktur yang sudah ada dibandingkan membangun jaringan baru,” tambah Fabby.

Sementara itu, Manajer Program Transformasi Energi IESR, Deon Arinaldo, mengungkapkan bahwa power wheeling dapat menarik investasi di Indonesia, terutama dari perusahaan multinasional yang memiliki target menggunakan 100 persen energi terbarukan pada 2030. “Adanya power wheeling akan membuka permintaan energi terbarukan dari pelanggan, utamanya kelompok industri, sehingga menarik pengembangan proyek energi terbarukan dan integrasi ke jaringan PLN. Selama ini, banyak potensi energi terbarukan tidak dapat dikembangkan karena harus menunggu listriknya dibeli oleh PLN,” jelas Deon.

Untuk memastikan skema ini berjalan efektif, Fabby menekankan perlunya pengaturan yang ketat terkait tarif wheeling.

“Pengaturan tersebut menyangkut perhitungan tarif wheeling yang harus memasukkan komponen biaya system losses, biaya kehandalan, ancillary services, dan biaya contingency, serta pengembangan sistem transmisi dan distribusi tenaga listrik,” paparnya.

Fabby juga menambahkan, Pemerintah perlu menyusun panduan aturan yang jelas tentang metode perhitungan tarif wheeling sehingga tidak merugikan pemilik jaringan dan operator sistem.

IESR mendorong DPR dan pemerintah untuk menetapkan skema power wheeling dalam RUU EBET serta menyusun aturan pelaksanaannya yang rinci dan transparan.

“Dengan skema ini, diharapkan pengembangan energi terbarukan dapat lebih optimal, mendukung majunya industri berkelanjutan di Indonesia, serta memenuhi kebutuhan pelanggan terhadap energi terbarukan,” tutur Fabby.

IESR optimistis bahwa skema power wheeling akan membawa banyak manfaat, tidak hanya bagi pengembangan energi terbarukan tetapi juga bagi industri yang berupaya untuk dekarbonisasi dan meningkatkan keandalan pasokan listrik di Indonesia. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles