IESR: Taksonomi ASEAN Edisi Kedua perlu didukung untuk pembiayaan hijau

Jakarta – Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai ASEAN Taxonomy for Sustainable Finance edisi kedua (ATSF v2) yang diterbitkan ASEAN Taxonomy Board (ATB) pada Maret lalu perlu dukungan penuh dari negara-negara anggota untuk pembiayaan hijau. Terbitnya taksonomi hijau hijau edisi kedua sebagai langkah strategis untuk menarik investasi global ke ASEAN dalam mendukung pembangunan berkelanjutan.

Salah satu hal yang baru dan pertama kalinya dipertimbangkan dalam ASEAN Taksonomi versi kedua ini adalah pengakhiran operasional PLTU batubara secara bertahap sebagai upaya pengurangan emisi gas rumah kaca secara signifikan untuk mencapai target Persetujuan Paris.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR mengatakan, IESR menyambut baik kehadiran ATSF v2 sebagai standar bersama ASEAN untuk pembiayaan hijau. Menurutnya, masuknya pendanaan untuk pengakhiran PLTU secara dini merupakan indikasi bahwa pemerintah di kawasan ini mendukung pencapaian net-zero emission pada pertengahan abad ini.

“Lebih dari separuh listrik di ASEAN berasal dari PLTU batubara. Sedangkan untuk mencapai target Persetujuan Paris, seluruh PLTU harus dipensiunkan pada 2040,” ujar Fabby dalam rilis tertulis.

Menurutnya, lebih dari 50% PLTU yang beroperasi di kawasan Asia Tenggara berusia kurang dari 10 tahun memiliki konsekuensi bahwa pengakhiran dini PLTU membutuhkan sumber pembiayaan yang cukup besar, sehingga perlu dikombinasi dengan pembiayaan untuk pembangunan pembangkit energi terbarukan untuk memastikan keamanan pasokan energi di kawasan yang ekonominya tumbuh pesat. Dalam konteks ini ATSF v.2 dapat mengakselerasi pengakhiran operasi PLTU di ASEAN melalui pendanaan hijau.

IESR menilai implementasi taksonomi ASEAN ini perlu dioptimalkan seiring keketuaan Indonesia di ASEAN 2023. Indonesia dapat memperkuat kerja sama di antara negara-negara ASEAN dalam mengatasi tantangan transisi energi, di antaranya rendahnya investasi di sektor energi terbarukan dan pengakhiran operasional PLTU batubara. Indonesia telah memiliki beberapa peluang pendanaan internasional untuk pengembangan energi terbarukan dan pengakhiran operasional PLTU batubara melalui Just Energy Transition Partnership (JETP), Energy Transition Mechanism (ETM), dan Clean Investment Fund-Accelerated Coal Transition (CIF-ACT) dengan total 24,05 miliar USD. Namun, IESR mengkaji setidaknya diperlukan 135 miliar USD hingga 2030 untuk biaya transisi energi di Indonesia, termasuk pengakhiran operasi PLTU.

Berdasarkan analisis IESR, selama lima tahun terakhir, rata-rata investasi energi terbarukan hanya mencapai 1,6 miliar USD per tahun atau 20 persen dari total investasi yang dibutuhkan untuk mencapai target bauran energi terbarukan 23% di 2025. Sementara itu, menyoroti dukungan internasional, berdasarkan hitungan IESR, terdapat potensi pendanaan dari internasional sebesar 13,1 miliar USD atau 35,4% dari total proyeksi kebutuhan pembiayaan sebesar 36,95 miliar USD pada 2025 untuk mencapai target bauran energi terbarukan 23%.

“Transisi energi penting diakselerasi untuk menarik investasi, meningkatkan daya saing industri, dan memastikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Oleh karena itu perlu diakselerasi dengan cara membangun ekosistem pengembangan teknologi emisi bersih seperti energi terbarukan. Taksonomi hijau merupakan langkah awal. Selanjutnya, pemerintah bisa memformulasikan kebijakan jangka panjang yang memberikan kepastian investasi energi terbarukan dan menciptakan kerangka regulasi yang minimal setara antara energi terbarukan dan energi fosil,” papar Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi, IESR. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles