Jakarta – Institute for Essential Services Reform (IESR) menyesalkan penghapusan rencana pengakhiran operasional PLTU batubara dengan total kapasitas 5 GW yang sebelumnya termuat dalam draf dokumen Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) dalam kerja sama Just Energy Transition Partnership (JETP) untuk mencapai transisi energi yang adil.
Penghapusan program ini diduga dilakukan karena ketidakjelasan sumber pendanaan dari Investasi Pemulihan Global (IPG). “IESR menilai penghapusan rencana pengakhiran operasional PLTU batubara ini akan menyulitkan Indonesia untuk mencapai target net-zero di tahun 2050 dan meningkatkan bauran energi terbarukan setelah tahun 2030,” kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, dalam keterangan tertulis
Dalam skenario JETP saat ini, penurunan emisi direncanakan dengan cara mengurangi penggunaan PLTU batubara. Karena itu, pencapaian target baru bauran energi terbarukan sebesar 44 persen pada 2030 dapat tercapai dengan adanya peningkatan fleksibilitas operasi PLTU batubara milik PLN, tinjauan kontrak PLTU batubara swasta, dan dukungan regulasi untuk percepatan pengembangan energi terbarukan di Indonesia.
Selain itu, rencana pembangunan energi terbarukan yang memberikan porsi besar pada Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) menjadi perhatian, mengingat prioritas PLN dalam skenario ini. Namun, proyek-proyek PLTP memerlukan waktu pengembangan antara 8 hingga 12 tahun, sedangkan PLTA bisa mencapai 6-10 tahun.
“Dihapuskannya rencana pengakhiran operasional 5 GW PLTU batubara sebelum 2030 karena ketiadaan dukungan pendanaan sangat disesalkan. Ini membuat JETP Indonesia semakin jauh dari target Paris Agreement,” ungkap Fabby.
IESR mengapresiasi perubahan yang telah diusulkan oleh Pemerintah dalam dokumen CIPP yang drafnya dipublikasikan dalam upaya untuk mendorong konsultasi publik.
Fabby mengungkapkan apresiasi terhadap beberapa perubahan yang diusulkan dalam dokumen CIPP tersebut, terutama peningkatan target bauran energi terbarukan sebesar 44 persen yang ditetapkan pada 2030. Target ini mencapai kenaikan signifikan dibandingkan dengan target sebelumnya sebesar 34 persen, seperti yang terdapat dalam joint statement JETP tahun lalu.
Namun, salah satu poin yang menjadi perhatian adalah penetapan target net zero emissions (NZE) di sektor ketenagalistrikan pada tahun 2050. “Hal ini belum selaras dengan Persetujuan Paris yang mendorong pengakhiran penggunaan pembangkit fosil pada tahun 2040,” ungkap Fabby.
Perbedaan target tahun 2040 dan 2050 tersebut menjadi perhatian khusus, mengingat pentingnya menjaga konsistensi dengan komitmen global untuk mengatasi perubahan iklim. Namun, hal yang lebih mengkhawatirkan adalah bahwa target penurunan emisi hanya difokuskan pada emisi pembangkit listrik yang terhubung dengan jaringan PLN.
Dalam hal ini, fokus tersebut tidak mencakup emisi sektor kelistrikan secara menyeluruh, yang mencapai 250 juta ton karbon dioksida ekuivalen pada 2030. Nilai ini belum termasuk target pengurangan emisi dari pembangkit yang dimiliki untuk keperluan sendiri (captive power). Secara bersamaan, jika mengkombinasikan target emisi ini, maka target puncak emisi secara keseluruhan menjadi jauh lebih tinggi dibandingkan yang telah diproyeksikan pada saat negosiasi JETP tahun lalu. (Hartatik)