Jakarta – Institute for Essential Services Reform (IESR) menyoroti bahwa preferensi terhadap batu bara serta regulasi yang kurang mendukung menjadi faktor utama yang menghambat pertumbuhan sektor ini. Dalam keterangan resmi, Senin, 17 Februari, IESR menyatakan bahwa Investasi dalam sektor energi terbarukan di Indonesia masih jauh dari target yang ditetapkan.
Menurut laporan terbaru Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), realisasi investasi di sektor energi baru terbarukan dan konservasi energi (EBTKE) pada tahun 2024 hanya mencapai USD 1,8 miliar, jauh di bawah target sebesar USD 2,6 miliar. IESR menilai bahwa hambatan utama dalam mencapai target tersebut adalah kebijakan yang tidak kondusif, struktur industri kelistrikan yang kurang kompetitif, serta berbagai risiko investasi yang membuat investor enggan menanamkan modal di Indonesia.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menegaskan bahwa untuk menarik lebih banyak investasi, pemerintah harus segera mereformasi kebijakan energi, termasuk menghapus ketergantungan pada batubara.
“Preferensi terhadap batubara, termasuk kebijakan domestic market obligation (DMO) yang mempertahankan harga batubara rendah, membuat energi terbarukan sulit bersaing. Selain itu, regulasi yang tidak jelas dan birokrasi yang berbelit juga menjadi penghambat besar bagi investor,” ujar Fabby.
Fabby juga menyoroti pentingnya transparansi dalam laporan capaian energi terbarukan pemerintah. Berdasarkan data KESDM, bauran energi terbarukan di Indonesia hanya meningkat tipis dari 13,9 persen pada 2023 menjadi 14,1 persen di 2024. Angka ini masih jauh dari target 19,5 persen yang seharusnya dicapai tahun ini.
“Pemerintah harus segera melakukan evaluasi mendalam dan menyiapkan strategi inovatif untuk mempercepat transisi energi,” tegasnya.
IESR juga mendorong pemanfaatan pendanaan internasional, seperti Just Energy Transition Partnership (JETP), untuk mendanai proyek-proyek energi terbarukan strategis. Namun, Fabby mengungkapkan bahwa pencairan dana JETP masih terhambat oleh lambatnya penyusunan proyek yang layak investasi serta ketidakpastian kebijakan setelah pergantian pemerintahan tahun lalu.
“Pemerintah perlu lebih proaktif dalam menyusun proyek-proyek yang bankable serta mempercepat reformasi kebijakan agar dana JETP dapat dimanfaatkan secara optimal,” jelasnya.
Di sisi lain, pemerintah telah mengambil langkah dalam upaya pensiun dini PLTU Cirebon dan menggantinya dengan 700 MW PLTS dengan penyimpanan baterai, 346 MW PLTS, 1.000 MW PLTB, serta 12 PLTSa. Meskipun demikian, Fabby menekankan bahwa keputusan akhir mengenai pensiun dini PLTU Cirebon yang telah dibahas sejak 2022 belum juga rampung. “Proses pensiun dini ini menjadi referensi penting untuk percepatan transisi energi di Indonesia. Sesuai kajian kami, ada 4,6 GW PLTU yang berpotensi dihentikan operasinya sebelum 2025,” ujarnya.
Lebih lanjut, Fabby menekankan bahwa pemerintah harus mulai merencanakan pembatasan produksi batubara yang terus meningkat dalam satu dekade terakhir. Tahun ini, produksi batubara nasional mencapai 836 juta ton, melampaui target 710 juta ton.
“Kenaikan produksi batubara ini justru mengirimkan sinyal negatif terhadap komitmen Indonesia dalam transisi energi,” katanya.
Fabby juga menyoroti bahwa tanpa reformasi kebijakan yang signifikan, biaya produksi listrik dari energi terbarukan tetap akan lebih mahal dibandingkan batubara.
“Kajian kami menunjukkan bahwa pada 2030, biaya produksi listrik bisa lebih murah jika bauran energi terbarukan mencapai lebih dari 30 persen dalam sistem kelistrikan. Ini seharusnya menjadi target yang didorong pemerintah,” tambahnya.
Sebagai langkah konkret, IESR merekomendasikan adanya sinergi antara Kementerian ESDM, Kementerian Investasi dan Hilirisasi, Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN, Bappenas, serta Kementerian Luar Negeri untuk menciptakan kebijakan yang lebih harmonis dan menarik bagi investor. Dengan adanya perbaikan kebijakan dan insentif yang jelas, Indonesia berpeluang besar untuk mencapai target transisi energi yang lebih ambisius di masa depan. (Hartatik)