IESR: PLTS Terapung Cirata tonggak akselerasi pengembangan energi surya di Indonesia

Jakarta – Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai, pengoperasian PLTS terapung Cirata merupakan “tonggak penting bagi akselerasi pengembangan pembangkit listrik tenaga surya berskala besar di Indonesia”. Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terapung Cirata di Waduk Cirata, Jawa Barat berkapasitas 145 Mega Watt (MW) diresmikan Presiden Joko Widodo, Kamis 9 November.

PLTS terapung terbesar di Asia Tenggara ini merupakan proyek kerja sama pemerintah Indonesia dan Uni Emirat Arab (UEA), melalui perusahaan patungan antara PT Pembangkitan Jawa-Bali (PLN) dan Masdar, perusahaan energi terbarukan asal UEA. Proyek ini menelan investasi sebesar USD 180 juta (Rp2,5 triliun).

Seiring dengan semakin menurunnya biaya investasi PLTS, Indonesia harus mengoptimalkan potensi teknis PLTS yang mencapai 3,7 TWp sampai dengan 20 TWp untuk mendukung tercapainya target puncak emisi sektor kelistrikan di 2030, dengan biaya termurah.

IESR mendorong pemerintah dan PLN untuk memanfaatkan potensi teknis PLTS terapung yang mencapai 28,4 GW dari 783 lokasi badan air di Indonesia. Kajian IESR menemukan PLTS terapung skala besar dapat dikembangkan.

“Setidaknya di 27 lokasi badan air yang memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), dengan total potensi mencapai 4,8 GW dan setara dengan investasi sebesar USD 3,84 miliar (R Rp 55,15 triliun). Pemanfaatan potensi PLTS terapung ini akan mempercepat pencapaian target bauran energi terbarukan dan meraih target net zero emission (NZE) lebih cepat dari 2060,” ujar Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa.

Pemerintah dan PLN harus mengoptimalkan potensi PLTS terapung, dengan menciptakan kerangka regulasi yang menarik minat pelaku usaha untuk berinvestasi di pembangkit ini. Salah satunya dengan memberikan tingkat pengembalian investasi sesuai profil risiko tetapi menarik dan mengurangi beban tambahan.

Salah satu yang perlu menjadi perhatian pemerintah adalah skema penugasan PLN kepada anak perusahaannya, yang selama ini menjadi opsi prioritas pengembangan PLTS terapung. Melalui skema ini anak perusahaan mencari equity investor untuk kepemilikan minoritas tetapi harus mau menanggung porsi equity yang lebih besar melalui shareholder loan.

Skema ini menguntungkan PLN, tetapi memangkas pengembalian investasi bagi investor dan beresiko pada bankability proyek, serta minat pemberi pinjaman. Skema ini juga dapat menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat di antara para pelaku usaha, karena hanya mereka yang punya ekuitas besar saja yang bisa bermitra dengan PLN, dan mayoritas investor asing. “Ini dapat berdampak pada minat investasi secara keseluruhan,” imbuh Fabby.

Solusinya, menurut Fabby, membutuhkan dukungan pemerintah dengan cara pemerintah memperkuat permodalan PLN dan anak perusahaannya melalui penyertaan modal negara (PMN) khusus untuk pengembangan energi terbarukan, dan/atau memberikan pinjaman konsesi kepada PLN melalui PT SMI yang kemudian dapat dikonversi sebagai kepemilikan saham pada proyek PLTS terapung.

Indonesia dapat meraup potensi investasi dan listrik yang rendah emisi dari PLTS terapung dengan dukungan regulasi yang pasti dan mengikat dari pemerintah. Pada Juli 2023, pemerintah telah menerbitkan Permen Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 7 Tahun 2023.

Peraturan tersebut membuka peluang pengembangan PLTS terapung dengan skala yang lebih besar, dengan catatan bila menggunakan luasan badan air lebih dari 20%, perlu mendapatkan rekomendasi dari Komisi Keamanan Bendungan. (Hartatik)

Foto banner: PLTS Terapung Cirata 145 MW yang terbesar di Asia Tenggara (Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles