IESR: Percepatan EBT, kompor induksi daripada gasifikasi batubara

Jakarta – Keputusan Air Products and Chemicals Inc. (APC), perusahaan asal Amerika Serikat mundur dari konsorsium proyek gasifikasi batubara di Indonesia sudah tepat menurut Institute for Essential Services Reform (IESR).

Direktur IESR Fabby Tumiwa menilai keputusan APC untuk mundur dari proyek DME di Sumatera Selatan dan proyek etanol dengan PT Kaltim Prima Coal (KPC) di Kaltim sudah tepat, karena tidak memenuhi keekonomian seiring dengan kenaikan harga batubara dan meningkatnya biaya investasi dengan memasukan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) untuk menangkap karbon.

“Mundurnya APC dari proyek ini justru bisa menyelamatkan keuangan negara di masa depan karena tidak harus mensubsidi produk DME yang biaya produksinya lebih mahal dari impor LPG,” kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa belum lama ini.

Mundurnya APC dari konsorsium proyek gasifikasi batubara di Indonesia akan berpengaruh terhadap rencana substitusi LPG dengan 1,4 juta metrik ton/tahun Dimethyl Ether (DME) hasil gasifikasi batubara atau setara dengan 1 juta ton Liquefied Petroleum Gas (LPG). Untuk itu, peningkatan bauran energi terbarukan dan mendorong konversi kompor gas menjadi kompor listrik induksi menjadi langkah tepat untuk mengatasi kegagalan proyek DME.

Meski begitu, menurut Fabby, pemerintah tetap harus mengupayakan menekan impor LPG yang telah mencapai 80% pasokan di Indonesia, antara lain dengan mendorong pemanfaatan kompor listrik induksi.

Kompor induksi meringankan beban APBN

Tahun lalu rencana program ini dikritik masyarakat hingga akhirnya dibatalkan karena persoalan komunikasi publik yang buruk, tapi program kompor induksi harus kembali diwacanakan dan didukung implementasinya. Penggunaan kompor listrik induksi pun akan memangkas impor LPG yang menjadi beban APBN.

Mengutip data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mayoritas LPG dikonsumsi sektor rumah tangga sebanyak 96%, sektor komersial 2,5% dan industri 1,5%. Menurut Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi, sejauh ini Indonesia telah mengimpor LPG senilai Rp 80 triliun dari total kebutuhan Rp 100 triliun. Sementara subsidi LPG yang diberikan pemerintah mencapai Rp 70 triliun. Konsumsi LPG pada tahun 2021 mencapai 7,95 juta ton, di mana 6,4 juta ton berasal dari impor.

Faris Adnan, Peneliti IESR menambahkan, biaya yang dikeluarkan masyarakat jika menggunakan kompor induksi dapat 10-30% lebih rendah dibandingkan penggunaan kompor gas. “Jika LPG tanpa subsidi, biaya operasional kompor listrik lebih hemat hingga 47% per tahun apabila dibandingkan dengan biaya operasional kompor gas,” jelasnya.

Pemerintah perlu tingkatkan bauran EBT secara ambisius

Ditinjau dari sisi emisinya, elektrifikasi peralatan memasak akan menurunkan emisi gas rumah kaca jika bauran energi terbarukan di sistem energi Indonesia lebih dari 50% pada 2030. Setiap satu juta rumah tangga menggunakan kompor listrik dapat meningkatkan permintaan listrik sebesar 1 TWh. Untuk itu, penting agar tambahan permintaan listrik ini disuplai oleh energi terbarukan.

“Agar kompor listrik memiliki emisi yang setidaknya sama dengan kompor gas, bauran energi terbarukan pada pembangkit pada tahun 2030 perlu mencapai 54% dan bauran batubara turun ke 29%, sehingga emisi pembangkitan listrik menjadi 0,415 kgCO2/kWh dari 0,781 kgCO2/kWh. Untuk itu, pemerintah juga perlu meningkatkan bauran energi terbarukan dalam pembangkit listrik secara ambisius dan mengurangi porsi batubara pada pembangkit,” ujar Faris.

Namun, tambahnya, jika dibandingkan dengan menggunakan DME, emisi dari kompor listrik lebih rendah sebesar 34% pada tahun 2025 dan 46% pada tahun 2030. Perhitungan ini mengasumsikan fasilitas produksi DME dari batubara tidak dilengkapi dengan teknologi carbon capture and storage sehingga menghasilkan emisi yang tinggi. Apabila 1,4 juta metrik ton/tahun DME yang digunakan untuk memasak diganti dengan listrik, maka pada tahun 2025 diprediksi dapat menghemat emisi sebesar 2,92 juta ton CO2 dan 3,94 juta ton CO2 pada tahun 2030. Selain itu, peralihan 1,4 juta metrik ton DME ke listrik ini dapat meningkatkan permintaan listrik sebesar 7,2 TWh per tahunnya. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles