IESR: Pengurangan target EBT berisiko hambat capaian ekonomi hijau

Jakarta – Rencana Pemerintah untuk menurunkan target bauran energi terbarukan dari 23 persen menjadi 17-19 persen pada 2025 mendapat kritik tajam dari Institute for Essential Services Reform (IESR). Menurut lembaga ini, langkah tersebut tidak hanya menghambat upaya penurunan emisi karbon, tetapi juga mengancam pertumbuhan ekonomi rendah karbon di Indonesia.

Menurut IESR, kegagalan mencapai target bauran energi terbarukan dalam lima tahun terakhir seharusnya menjadi dasar evaluasi untuk strategi yang lebih baik, bukan alasan untuk menurunkan target. Manajer Program Ekonomi Hijau IESR, Wira A Swadana menyatakan, bahwa energi terbarukan telah menjadi semakin murah.

“Harga panel surya turun 89 persen dari 2010 hingga 2019, turbin angin turun 59 persen, dan penyimpanan baterai turun 89 persen,” ungkapnya dalam keterangan tertulis, Jumat, 28 Juni.

Wira juga menekankan bahwa mempertahankan dominasi batubara dalam sistem energi Indonesia justru akan menimbulkan kerentanan ekonomi. “Negara tujuan ekspor batubara Indonesia, seperti Tiongkok dan India, telah menetapkan target netral karbon dan akan mengurangi konsumsi batubara secara signifikan,” ujarnya.

Proyeksi menunjukkan bahwa permintaan batubara Indonesia dapat menurun lebih dari 90 persen pada 2050 dibandingkan dengan 2020, jika negara-negara tersebut memenuhi komitmen iklimnya.

Strategi untuk energi terbarukan

IESR mengusulkan dua strategi utama untuk mencapai target bauran energi terbarukan. Pertama, menciptakan undang-undang pendukung ekosistem transisi energi. Kedua, memperbaiki kerangka kerja keuangan berkelanjutan PLN untuk mendorong lebih banyak sumber pembiayaan.

“Seperti halnya model bisnis PLN yang harus berubah, demikian pula dengan daerah-daerah yang harus mengubah sistem energinya secara komprehensif,” kata Wira.

Pemerintah pusat dan daerah perlu memahami seluruh elemen sistem energi, termasuk ketenagalistrikan, transportasi, dan sektor terkait lainnya. Wira menambahkan, selain sisi teknis, pemerintah juga perlu memperhatikan dampak sosial dan ekonomi dari transisi energi.

Misalnya, daerah penghasil batubara yang akan terdampak secara ekonomi akibat berkurangnya penggunaan batubara.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN), Djoko Siswanto menjelaskan bahwa pembaharuan PP KEN didasarkan pada pertimbangan makro ekonomi yang lebih realistis. “Bauran energi terbarukan sampai 2030 ditargetkan sebesar 19-22 persen, akan naik pada 2040 menjadi 36-40 persen, dan meningkat pada 2060 menjadi 70-72 persen,” jelasnya.

Djoko juga menambahkan bahwa emisi karbon sektor energi diharapkan turun menjadi 129 juta ton setara karbon dioksida pada 2060, yang akan diserap oleh sektor kehutanan dan sektor lainnya.

Kajian IESR menunjukkan bahwa Indonesia secara teknis dan ekonomis bisa menyuplai kebutuhan energi dengan 100 persen energi terbarukan pada 2050 dengan biaya sistem energi yang kompetitif.

“Kebutuhan investasi dan biaya sistem akan meningkat untuk membantu integrasi energi terbarukan menuju 2030, namun antara 2030-2050 akan jadi lebih murah akibat makin turunnya biaya teknologi energi terbarukan,” ungkap Wira.

Jika proses integrasi energi terbarukan lambat, Indonesia mungkin tidak akan mendapatkan manfaat maksimal dari potensi energi terbarukan yang melimpah.

“Langkah pemerintah ini justru bisa membuat Indonesia tertinggal dalam memanfaatkan potensi energi terbarukan yang kita miliki,” pungkas Wira. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles