IESR: Peluang dan tantangan dalam perdagangan karbon Indonesia

Jakarta – Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan bahwa diperlukan waktu untuk membangun ekosistem pasar karbon yang kuat dan matang. Meskipun peluncuran pasar karbon adalah langkah yang positif, pemantauan dan evaluasi berkala penting untuk menjaga pasar karbon tetap berjalan dengan baik. Koordinasi dan kerja sama lintas sektor juga diperlukan untuk mencapai tujuan ini.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan bahwa “pasar karbon membuka peluang untuk mempromosikan prinsip-prinsip taksonomi hijau kepada lembaga keuangan, investor, dan pemilik proyek. Dengan memberikan insentif yang tepat, pasar karbon dapat menjadi alat yang efektif dalam upaya mengatasi perubahan iklim dan mendukung proyek berkelanjutan”.

Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) 98/2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) sebagai landasan bagi pengembangan infrastruktur dan kerangka kerja untuk perdagangan karbon.

Fabby mengatakan, regulasi NEK ini lahir sebagai tanggapan terhadap Pasal 6 Persetujuan Paris yang memungkinkan perdagangan karbon untuk mengurangi emisi. Dalam regulasi ini, terdapat beberapa instrumen, termasuk perdagangan karbon, pembayaran berbasis hasil, dan pajak karbon, yang diperkirakan akan diluncurkan pada tahun 2025 setelah beberapa penundaan.

“Dari semua instrumen tersebut, perdagangan karbon diidentifikasi sebagai instrumen yang paling matang. Perdagangan karbon memungkinkan institusi untuk mengkompensasi emisi tinggi dengan membeli kredit karbon dari aktivitas yang menyediakan stok karbon,” beber Fabby.

Dengan terbentuknya pasar karbon, kuota karbon dari sektor yang memenuhi syarat dan kredit karbon akan diperjualbelikan. Dalam pertukaran karbon ini, semua entitas, termasuk penghasil emisi atau tidak, harus mendapatkan izin dari National Standard Registry (SRN) untuk memastikan data emisi yang akurat.

Untuk mendukung pelaksanaan perdagangan karbon, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan peraturan dan meluncurkan pasar karbon pada September 2023. Hal ini menunjukkan bahwa pembiayaan memegang peran penting dalam mencapai target iklim dan meningkatkan kesadaran akan dampak perubahan iklim, terutama dalam sektor bisnis.

Sebelumnya, Indonesia memiliki Pasar Karbon Sukarela (Voluntary Carbon Market, VCM) yang beroperasi selama beberapa dekade. Sekarang, Indonesia mengembangkan pasar karbon wajib untuk memenuhi target Kontribusi Nasional (Nationally Determined Contribution, NDC) untuk sektor tertentu. Sebagai contoh, proyek Lahan Gambut Sumatera Merang berhasil menjual tiga juta kredit karbon kepada perusahaan-perusahaan besar.

Dalam tahap pertama perdagangan karbon, 99 pembangkit listrik tenaga batubara yang mencakup 86% pembangkit listrik di Indonesia berpartisipasi. Masing-masing pembangkit listrik memiliki kuota emisi yang ditetapkan berdasarkan kinerja sebelumnya. Mereka dapat menukarkan sisa kuota dengan perusahaan lain yang melebihi batas maksimum emisi. Namun, jika melebihi kuota, mereka harus mengurangi emisi dengan membeli kredit karbon.

Keberhasilan program percontohan ini mendorong sektor lain untuk mempertimbangkan perdagangan karbon dan memperluas penerapannya di sektor lain. Sementara itu, pemerintah sedang mengembangkan peta jalan perdagangan karbon yang sedang dibahas di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles