Jakarta – Target pengurangan emisi terbaru Indonesia dikategorikan sebagai critically insufficient, atau amat jauh dari cukup untuk meredam pemanasan global, menurut Institute for Essential Services Reform (IESR).
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dalam sambutannya pada Seminar “Bridging the Cross-Sectoral Gap in Pursuing More Ambitious Climate Targets in Indonesia” mengatakan berdasarkan data Climate Action Tracker (CAT) aksi global berdasarkan kebijakan saat in, akan menuju ke kenaikan suhu global sebanyak 2,7°C.
“Terdapat kesenjangan antara kebijakan saat ini dengan tingkat emisi yang kompatibel dengan Persetujuan Paris. Berdasarkan kebijakan dan aksi iklim Indonesia emisi diperkirakan akan mencapai 111,4-132,0 Giga Ton CO2e/tahun pada 2030 (tidak termasuk LULUCF), atau 351-415% di atas tingkat emisi 1990,” ungkap Fabby.
Padahal, menurutnya, emisi harus turun menjadi 0.56-0.86 GtCO2e/tahun pada 2030 (tidak termasuk LULUCF) agar kompatibel dengan Persetujuan Paris. Selain itu, dua sektor yakni transportasi dan industri masih belum menunjukkan aksi menuju pemenuhan target net zero, sementara sektor energi sudah ada strategi yang jelas untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.
“Ini menunjukkan adanya kesenjangan aksi atau tidak ada strategi dan rencana yang transparan dan terukur, sehingga dikhawatirkan akan membuat Indonesia gagal mencapai target Persetujuan Paris,” ungkapnya.
Tidak ada strategi terukur
Pembangunan berkelanjutan yang minim emisi dipercaya akan membawa Indonesia keluar dari jebakan negara berpendapatan yang sudah berlangsung selama 30 tahun (1993-2022), sehingga mampu bergerak menuju negara maju. Untuk itu, IESR mendorong pemerintah untuk secara serius menetapkan target dan melakukan aksi penurunan emisi yang jelas dan terukur, serta mencantumkan target tersebut pada kontribusi nasional yang ditetapkan atau Nationally Determined Contribution (NDC).
Dikatakan Fabby, penyampaian sinyal yang berbeda dari pembuat kebijakan yang menyesuaikan prioritas masing-masing sektor terkait mitigasi krisis iklim, menyebabkan lambatnya pergerakan untuk mencapai target penurunan emisi selaras Persetujuan Paris.
“Tidak adanya strategi yang terukur menyebabkan perbedaan sinyal secara sektoral. Misalnya, alokasi anggaran untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim tidak sesuai, pembuatan kebijakan sering tidak sejalan secara lintas sektoral, bahkan sektor transportasi belum ditargetkan tenggat waktu untuk mencapai puncak emisi. Aksi iklim perlu diintegrasikan ke dalam penyusunan RPJPN diikuti RPJMN,” tukasnya.
Sementara itu, Medrilzam, Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas pada kesempatan yang sama menjelaskan bahwa pihaknya telah menyelesaikan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 yang mengedepankan prinsip pembangunan berkelanjutan. Salah satu sasaran utamanya adalah penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) hingga 95% pada 2045.
“Penurunan emisi jangan dilihat hanya sekadar menurunkan emisi saja, dan harus mempertimbangkan perkembangan ekonomi. Intervensi ekonomi hijau dengan pembangunan rendah karbon akan meningkatkan daya dukung lingkungan dan menurunkan emisi GRK seiring mendorong pertumbuhan PDB rata-rata Indonesia tahun 2022-2045 harus mencapai 6-7%,” tandas Medrilzam.
Medrilzam mengakatan bahwa jumlah investasi yang dibutuhkan rata-rata sebesar Rp 2,377 triliun rupiah per tahun dari 2025-2045 untuk melaksanakan kebijakan ekonomi hijau. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut diperlukan kebijakan yang mengarah pada penguatan pembiayaan inovatif hijau, seperti blended finance, impact investment, carbon tax, dan lainnya. (Hartatik)
Foto banner: liyuhan/shutterstock.com