Jakarta – Institute for Essential Services Reform (IESR) menekankan pentingnya aspek keadilan dalam implementasi Second Nationally Determined Contribution (SNDC) Indonesia yang baru-baru ini diajukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Menurut IESR, target iklim yang diusulkan masih belum cukup ambisius untuk menanggapi urgensi krisis iklim global, meski Indonesia telah mengambil langkah penting dengan menyusun draf SNDC.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, mengungkapkan bahwa target penurunan emisi yang lebih ambisius sangat diperlukan untuk menjaga kenaikan suhu global tidak lebih dari 1,5°C, sesuai dengan Persetujuan Paris.
“Target iklim yang lebih ambisius diperlukan agar Indonesia dapat berkontribusi secara signifikan dalam menjaga suhu global tidak lebih dari 1,5°C. Ini bukan hanya tentang angka, tetapi tentang komitmen nyata untuk masa depan yang lebih aman dan berkelanjutan,” ujar Fabby.
Fabby juga mengkritik aksi mitigasi yang diajukan pemerintah dalam sektor energi yang masih bergantung pada teknologi carbon capture and storage (CCS) di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara. Ia menyatakan bahwa teknologi ini masih diragukan efektivitasnya dalam memangkas emisi gas rumah kaca.
“Aksi mitigasi yang masih mengandalkan teknologi CCS pada PLTU batubara justru bertentangan dengan tujuan pengakhiran penggunaan batubara yang dicanangkan pemerintah dalam Perpres 112/2022,” tegas Fabby.
Lebih lanjut, IESR juga mendorong agar SNDC memuat rencana yang jelas untuk pensiun dini PLTU, sesuai dengan peta jalan yang telah disusun oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Selain itu, IESR menyerukan peningkatan bauran energi terbarukan hingga 45% pada tahun 2030, sejalan dengan target global untuk meningkatkan kapasitas energi terbarukan hingga tiga kali lipat pada tahun yang sama.
Delima Ramadhani, Koordinator Proyek Kebijakan Iklim IESR, menambahkan bahwa keadilan dalam transisi energi harus menjadi prioritas utama dalam SNDC. Menurutnya, aspek keadilan ini harus mencakup pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, serta dukungan bagi kelompok yang rentan terdampak oleh transisi energi, seperti pekerja di sektor batubara.
“Transisi yang adil harus dimulai dengan pengakuan atas faktor-faktor seperti gender dan usia yang dapat menghalangi partisipasi yang setara dalam proses transisi,” jelas Delima.
Dia juga menekankan pentingnya transparansi dalam proses penetapan dan implementasi target SNDC. Pemerintah diharapkan memberikan kejelasan mengenai asumsi dan dasar yang digunakan dalam menetapkan target penurunan emisi, termasuk bagaimana aspek keadilan atau *equity* dipertimbangkan dalam penetapan tersebut.
“Pemerintah perlu menjelaskan dengan jelas bagaimana kontribusi Indonesia dalam pencapaian target 1,5°C ini didasarkan pada prinsip keadilan dan apakah target yang ditetapkan sudah sesuai dengan kewajiban dan kapasitas negara,” ujar Delima.
IESR juga mendorong pemerintah untuk menunjukkan komitmen politik yang kuat dalam menghapus kebijakan yang bertentangan dengan upaya mitigasi iklim. Selain itu, integrasi NDC ke dalam seluruh kebijakan sektoral juga diperlukan untuk memastikan bahwa upaya mitigasi berjalan seiring di semua sektor.
Secara keseluruhan, IESR menegaskan bahwa untuk mencapai target iklim yang adil dan berkelanjutan, Indonesia harus mengambil langkah nyata yang lebih ambisius dan transparan dalam implementasi SNDC. Ini bukan hanya tentang memenuhi kewajiban internasional, tetapi juga tentang menciptakan masa depan yang lebih aman dan sejahtera bagi seluruh masyarakat Indonesia. (Hartatik)