IEEFA: Sebagian besar proyek EBT tertunda, jauh dari capaian target

Jakarta – Laporan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), mengatakan pada Rabu, 18 Desember, sebagian besar proyek energi terbarukan yang dilelang sejak dua tahun lalu masih tertahan di tahap negosiasi, jauh dari harapan untuk mendukung pencapaian target energi bersih nasional.

Mutya Yustika, Analis Keuangan Energi IEEFA, menyoroti bahwa meskipun Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030 menargetkan penambahan kapasitas EBT sebesar 21 gigawatt (GW), realisasi hingga kini hanya 0,6 GW per tahun, jauh di bawah target tahunan 2,1 GW.

“Meski ada target ambisius, kenyataan di lapangan tidak mendukung. Banyak proyek yang masih berlarut-larut dalam proses lelang dan negosiasi kontrak,” ujar Mutya dalam keterangannya.

Salah satu program penting yang mengalami keterlambatan adalah inisiatif penggantian 5.200 Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dengan energi terbarukan. Meskipun lelang tahap pertama telah selesai pada 2022 dan dokumen Letter of Intent (LoI) sudah ditandatangani pada Desember 2023, belum ada kontrak yang berhasil disepakati hingga kini.

Demikian pula, proyek Hijaunesia, yang diharapkan menciptakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) skala besar dengan kapasitas 1 GW, masih tertahan pada tahap perencanaan dan pemilihan mitra, meski telah berjalan hampir dua tahun.

“Padahal, penggantian PLTD dan PLTS skala besar merupakan elemen kunci untuk mempercepat transisi energi kita. Jika proses ini terus tertunda, target 75 GW energi terbarukan pada 2040 akan sulit dicapai,” tegas Mutya.

Grant Hauber, Penasihat Strategis Keuangan Energi Asia IEEFA, menegaskan perlunya reformasi mendalam dalam proses pengadaan proyek energi terbarukan. Ia menekankan pentingnya kolaborasi lintas institusi, termasuk PT Sarana Multi Infrastruktur, PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF), dan Indonesia Investment Authority (INA), untuk mempercepat realisasi proyek.

“Institusi-institusi ini harus bekerja sama dengan kementerian terkait dan PLN untuk memastikan sumber daya yang diperlukan tersedia, dan proses pengadaan berlangsung transparan serta efisien. Fokus utama harus pada identifikasi dan prioritas proyek yang memiliki kesiapan lahan serta sumber daya yang memadai,” kata Grant.

“Pengadaan yang berbelit-belit hanya menambah risiko dan memperpanjang waktu eksekusi. Transparansi dan fleksibilitas kontrak sangat diperlukan agar proyek dapat berjalan dengan cepat dan memberikan hasil nyata,” imbuhnya. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles