Jakarta – Lembaga riset keuangan dan energi Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), akhir Maret lalu mengatakan bahwa pemerintah harus mengantisipasi lonjakan penjualan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (EV) yang tidak diikuti dengan perkembangan pasar EV berkelanjutan, termasuk risiko turunnya penjualan setelah pemberian insentif berakhir.
“Milestone yang jelas dan tren penurunan harga perlu menjadi perhatian,” ujar Putra Adhiguna, Energy Technologies Research Lead IEEFA untuk kawasan Asia.
Menurutnya, pembangunan infrastruktur terkait EV harus didorong secara bersamaan dengan program insentif. Program insentif yang ada saat ini tampak seperti sebuah perlombaan dengan negara ASEAN lainnya dalam mendorong investasi EV.
Terlepas dari narasi kendaraan listrik yang terlihat berpijak pada sumber daya nikel domestik, pertarungan yang ada terfokus pada usaha pembangunan pabrikan baterai dan EV. Padahal tanpa turut andil dalam produksi kendaraan listrik, Indonesia hanya akan terbebani imbas lingkungan dari eksploitasi nikel sementara tidak meraih keuntungan berarti dari adopsi EV yang lebih efisien.
Bahkan seiring dengan berkembangnya teknologi dan komposisi baterai, perhatian dunia terhadap imbas lingkungan industri nikel akan semakin menguat dan harus dapat ditangani untuk menjaga daya saing Indonesia. Inisiatif eksternal seperti Inflation Reduction Act (IRA) di Amerika Serikat dan kebijakan Uni Eropa diharapkan dapat membuka pintu bagi investasi industri nikel yang lebih memperhatikan prinsip-prinsip berkelanjutan untuk meningkatkan standar industri.
Sementara itu, beberapa negara Asia Tenggara tengah berkompetisi untuk menarik investasi produsen EV sebagai respons atas tren pertumbuhan kendaraan listrik dunia. Indonesia berkompetisi ketat dengan Thailand, produsen otomotif terdepan saat ini. Hyundai dari Korea Selatan dan Wuling dari China telah hadir di Indonesia, sementara produsen EV unggulan dari China, BYD, tengah memulai pembangunan pabriknya di Thailand bulan ini. Filipina dan Vietnam juga sudah menunjukkan ketertarikan mereka.
Filipina adalah produsen nikel terbesar kedua di dunia setelah Indonesia, meski memiliki kendala dengan harga listrik mereka yang lebih mahal. Dengan berbagai insentif EV yang digulirkan di berbagai negara, persaingan untuk menjadi pusat industri EV di ASEAN semakin ketat
Di sisi lain, penggunaan baterai berbasis nikel akan terus tumbuh di dunia, kemungkinan lebih banyak untuk pemakaian yang membutuhkan performa tinggi seperti kendaraan dengan jarak tempuh yang jauh.
“Ironisnya, belum jelas apakah kekayaan nikel Indonesia akan mendominasi perkembangan EV di pasar domestik. Mengingat sebagian besar populasi Indonesia memiliki kendaraan roda dua dan mobil segmen bawah sampai menengah, pertimbangan biaya sangat mungkin akan mencondongkan pasar EV Indonesia ke arah baterai lithium iron phosphate (LFP) yang lebih terjangkau,” menurut Putra. (Hartatik)
Foto banner: Hyundai IONIQ elektrik di Mondial Paris Motor Show 2018. (shutterstock.com)