Jakarta – Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menyoroti sejumlah masalah yang menyebabkan target bauran pembangkit energi baru terbarukan (EBT) pada tahun 2025 tidak tercapai sepenuhnya. Salah satu penyebabnya adalah mundurnya tenggat operasi komersial (COD) dalam rencana penyediaan listrik oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Belum lama ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan bahwa target bauran EBT sebesar 23% pada tahun 2025 tidak tercapai. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Kementerian ESDM, Yudo Dwinanda Priaadi, mengungkapkan bahwa realisasi bauran EBT hingga paruh pertama tahun 2023 baru mencapai 12,5%, jauh di bawah target 17,9% yang ditetapkan.
Yudo juga menyampaikan bahwa proyeksi penambahan bauran EBT hingga akhir 2023 hanya mencapai 115 MW, dari target yang ditetapkan sebesar 2.029 MW. Ia menegaskan bahwa realisasi bauran EBT pada tahun ini sudah memperhitungkan kapasitas baru dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung Cirata, yang memiliki kapasitas 145 MWac atau setara dengan 192 MWp.
Analis Energi IEEFA, Putra Adhiguna mengungkapkan bahwa kendala pendanaan, perjanjian jual beli listrik (PPA), dan hambatan teknis di lapangan menjadi penyebab utama kelambatan ini.
“Dalam rencana RUPTL, banyak proyek yang tidak terealisasi sesuai harapan, dan ini menjadi perhatian serius. Masalahnya melibatkan kendala pendanaan, PPA, dan kompleksitas teknis dan non-teknis seperti aspek sosial dan lingkungan,” ujar Putra Adhiguna dalam keterangannya.
Menurutnya pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) dan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dalam komposisi energi terbarukan yang tertuang dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, sering menghadapi kendala dalam negosiasi PPA dengan PLN. Selain itu terdapat juga kompleksitas teknis dan non-teknis yang mencakup aspek sosial dan lingkungan. (Hartatik)