Jakarta – Percepatan adopsi kendaraan listrik (EV) di Indonesia berpotensi memberikan penghematan anggaran subsidi energi hingga Rp4,984 triliun pada 2060. Hal ini terungkap dalam laporan terbaru International Council on Clean Transportation (ICCT) bertajuk Roadmap to Zero: The Pace of Indonesia’s Electric Vehicle Transition.
Managing Director ICCT, Ray Minjares, mengungkapkan bahwa laporan tersebut merinci dua skenario adopsi EV untuk mencapai target net zero emissions (NZE) pada 2060. Dalam skenario dasar, kendaraan roda dua dan tiga diproyeksikan mencapai adopsi penuh 100 persen pada 2040, sementara kendaraan roda empat, bus, dan truk—baik sedang maupun berat—diperkirakan mencapai target serupa pada 2045.
“Jika Indonesia menerapkan skenario net-zero, konsumsi bahan bakar cair hingga 2060 akan berkurang sekitar 5,1 hingga 6,7 miliar barel setara minyak. Ini berarti potensi penghematan subsidi energi bisa mencapai antara Rp3,960 triliun hingga Rp4,984 triliun,” ujar Ray Minjares dalam keterangannya, Minggu, 16 Februari.
Laporan ICCT juga menghadirkan skenario best practice yang lebih optimistis. Dalam skenario ini, kendaraan roda dua dan tiga diharapkan mencapai adopsi penuh lebih cepat, yakni pada 2037, sementara kendaraan roda empat, bus, dan truk dapat mencapai 100 persen adopsi pada 2040.
Menurut Ray, kedua skenario tersebut memberikan manfaat besar tidak hanya dalam aspek ekonomi, tetapi juga terhadap lingkungan. Peralihan dari kendaraan berbahan bakar fosil ke EV diperkirakan dapat mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) sebesar 2,4 hingga 3,1 gigaton hingga tahun 2060.
“Sektor transportasi di Indonesia menyumbang sekitar 22 persen dari total emisi energi. Polusi dari pembakaran bahan bakar fosil ini tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga mengakibatkan sekitar 4.500 kematian dini setiap tahunnya. Belum termasuk peningkatan kasus penyakit pernapasan, kehilangan hari kerja, serta dampak sosial lainnya,” jelas Ray.
ICCT menekankan bahwa percepatan transisi menuju kendaraan listrik memerlukan dukungan kebijakan yang lebih kuat dari pemerintah. Salah satu langkah yang perlu dilakukan adalah mempercepat pembangunan infrastruktur pengisian daya, memberikan insentif bagi produsen dan konsumen EV, serta meningkatkan investasi dalam teknologi baterai yang lebih efisien.
“Kami berharap temuan dalam laporan ini dapat menjadi pertimbangan bagi pemerintah untuk semakin mendorong transisi menuju kendaraan listrik. Selain mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, kebijakan ini juga dapat meningkatkan kualitas udara, mengurangi beban subsidi energi, dan memperbaiki kesehatan masyarakat secara keseluruhan,” pungkas Ray. (Hartatik)