
Jakarta – Sebagai pilar penyangga kedaulatan energi nasional, kontribusi industri hulu migas masih diandalkan untuk memenuhi kebutuhan energi nasional hingga 2050. Bahkan energi dari migas mengisi sekitar 40 persen lebih kebutuhan energi nasional.
Kepala Divisi Hukum SKK Migas Didik Sasono Setyadi mengatakan, agenda untuk menangani emisi karbon harus dilihat bukan hanya dari sudut pandang lingkungan, tetapi juga dari sudut pandang finansial dan investasi, tapi tentunya kemanfaatannya bagi kebutuhan bangsa. Dalam bauran energi sampai 2050, industri hulu migas masih memegang peranan penting bagi ketahanan energi di Indonesia.
“Program pengendalian emisi karbon tidak dapat dilihat semata-mata dari sudut pandang lingkungan, tetapi juga dari sudut pandang ketahanan dan kemandirian energi, ekonomi, dan tentunya manfaat bagi Indonesia,” kata Didik dalam seminar Legal Aspect and Attractive Investment Opportunities of Low Carbon Initiative in the Oil and Gas industry di Hotel Majapahit Surabaya yang disiarkan secara virtual pada Youtube Kalingga Indonesia, Selasa (29/3).
Lebih lanjut, masih besarnya kontribusi hulu migas, maka dipandang perlu untuk menyiapkan perangkat hukum agar industri hulu migas tidak hanya fokus terhadap dampak pada lingkungan tetapi juga terhadap peningkatan investasi dan finansial. Hal tersebut menjadi penting mengingat hulu migas juga memiliki target produksi 1 juta barel minyak per hari (BOPD) dan 12 miliar standar kaki kubik gas per hari (BSCFD) pada 2030.
Dalam kesempatan itu, Iman Suseno Senior Manager EP Legal Medco E&P Indonesia menyampaikan, kegiatan seminar ini sangat bermanfaat untuk memberikan pemahaman yang sama antara pemerintah, investor, dan pemangku kepentingan lainnya.
“Kegiatan ini diharapkan dapat membantu merumuskan strategi jangka panjang pengendalian emisi karbon di sektor hulu migas Indonesia, tidak hanya dari sisi lingkungan tetapi juga dari sisi investasi,” ujar Imam.
Sementara itu, Indria Wahyuni, akademisi dari Universitas Airlangga hadir sebagai pemateri memaparkan sejumlah strategi besar, di antaranya harmonisasi regulasi dan simplifikasi perijinan, arah baru kebijakan energi berbasis fosil, transisi yang tidak menegasikan sumber energi lainnya, arah pengembangan dan riset mengenai energi baru dan terbarukan serta RUU EBT.
Chairman of Energy Transition Committee-Indonesian Petroleum Association (IPA), Denny Riyadi menyampaikan bahwa tuntutan global untuk penurunan karbon semakin besar. Kepentingan untuk mengontrol kenaikan suhu di dunia merupakan kepentingan masyarakat luas termasuk industri energi. Bahkan Indonesia memiliki komitmen untuk menurunkan emisi karbon pada 2030 sebanyak 29% dan dimulai sejak 2010.
“Kita tentunya punya komitmen menurunkan emisi. Sumber energi dunia ini masih tetap mayoritas dari energi fosil sekitar 63%, sisanya energi listrik yang sebagian juga dihasilkan pada energi fosil. Indonesia tidak jauh berbeda, jika di 2015, sekitar 60-70% itu migas, sedangkan nanti di 2050 diharapkan turun sekitar 44%,” terangnya. (Hartatik)