Harga Kompetitif energi hijau jadi kunci Sukses Transisi Energi Hijau

Tangkapan layar kanal webinar KompasTalks bersama Greenpeace bertema “Pentingnya Transisi Hijau untuk Mengatasi Krisis Iklim, Rabu (2/3). (Foto: Hartatik)

JAKARTA – Meski Indonesia kaya sumber energi terbarukan, namun tidak serta merta jalan menuju transisi energi mulus. Pasalnya, salah satu tantangan pemanfaatan energi hijau adalah soal harga.

Kepala Kajian Ekonomi Lingkungan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Alin Halimatussadiah menyatakan, kunci sukses transisi energi hijau adalah harganya yang kompetitif dengan energi fosil.

“Ini tentu membutuhkan dukungan regulasi, mulai dari pemakaian kapasitas besar, sedang hingga kecil. Ironinya, negeri kita kaya akan sumber energi terbarukan tapi tidak optimal pemanfaatannya. Apalagi (harga) energy terbarukan tidak cukup kompetitif dibandingkan fosil,” ujar Alin dalam webinar KompasTalks bersama Greenpeace bertema ‘Pentingnya Transisi Hijau untuk Mengatasi Krisis Iklim’, Rabu (2/3).

Adapun dari sisi perencanaan dan target penggunaan energi hijau diakui ada kemajuan. Namun ia menilai pemerintah mesti lebih serius dari sisi turunan kebijakan dan komitmen di lapangan.

Lebih lanjut, menurutnya, dibutuhkan ekosistem yang mengatur persaingan tersebut. Salah satunya memberikan insentif fiskal dan nonfiskal pada penggunaan energi hijau. Proses penggunaan di tingkat konsumen juga mesti dipermudah.

Alin menambahkan, transisi ke energi terbarukan juga akan berdampak pada perubahan struktur ekonomi. Prosesnya penting selalu dipantau untuk mengetahui proporsi sektor yang bergeser, termasuk dalam penyediaan taekonologi dan sumber daya manusia.

Perubahan pemakaian energi fosil menuju energi hijau atau terbarukan menjadi jalan untuk mereduksi dampak krisis iklim di masa depan. Jika transisi itu gagal, perubahan iklim tidak hanya akan menyebabkan krisis lingkungan, tetapi juga memicu krisis ekonomi dan kemanusiaan.

Ekonom senior dan tokoh lingkungan hidup, Prof Emil Salim mengatakan, transisi energi hijau sangat penting untuk mengatasi krisis iklim. Pembakaran energi fosil, seperti batu bara dan minyak bumi, melepaskan zat-zat cemar ke udara yang membuat suhu bumi semakin panas.

“Jadi, kita mesti mengubah pola pembangunan dari (penggunaan) energi kotor (bahan bakar fosil) ke energi bersih atau hijau,” kata Emil.

Sumber energi terbarukan, seperti tenaga surya, angin, panas bumi, dan gelombang laut banyak ditemukan di Indonesia. Namun, pemanfaatannya masih sangat minim.

Dibutuhkan sumber daya manusia yang memadai untuk memberdayakan sumber energi hijau itu sehingga dapat memenuhi kebutuhan energi di masa mendatang. Emil menyebut hal itu sebagai jalan keluar agar Indonesia bisa lepas dari ketergantungan memakai energi kotor.

“Jika bumi semakin panas, menuju ke neraka hidup di dunia. Tumbuhan dan hewan tidak bisa survive hidup, manusia pun menghadapi krisis,” ujarnya.

Kepala Pusat Layanan Informasi Iklim Terapan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Ardhasena Sopaheluwakan mengatakan, perubahan iklim telah menyebabkan tren kenaikan temperatur di Indonesia. Selain itu, dampaknya juga memicu hujan ekstrem yang menyebabkan banjir di berbagai daerah.

Dampak lainnya adalah mencairnya es di Puncak Jaya di Papua. Saat ini, permukaan es di sana sudah di atas titik beku, sekitar 5 derajat celcius.

“Jadi, sudah dapat dipastikan, beberapa tahun akan datang, kita akan kehilangan wilayah yang kita kenal sabagai salju abadi itu,” katanya.

Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Tata Mustasya menuturkan, kegagalan mengatasi krisis iklim juga akan menyebabkan krisis ekonomi dan kemanusiaan. Cuaca ekstrem yang memicu bencana akan berdampak buruk pada sektor ekonomi.

“Kita telah membangun ekonomi dengan cara yang salah. Sejak awal Revolusi Industri (1750), pembangunan selalu bersanding dengan energi fosil. Sekarang harus berbenah,” ucapnya. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles