Global Energy Monitor: Ekspansi pembangkit listrik gas harus dikaji ulang

Jakarta – Global Energy Monitor (GEM) memperingatkan bahwa ekspansi pembangkit listrik tenaga gas dan infrastruktur LNG di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dapat menjebak wilayah ini dalam ketergantungan pada bahan bakar fosil yang rentan terhadap fluktuasi harga. Selain itu, langkah ini berpotensi mengurangi investasi di sektor energi terbarukan di kawasan ini.

Dalam laporannya yang berjudul “Southeast Asia’s Energy Cross Roads: The Cost of Gas Expansion versus The Promise of Renewable,” GEM mencatat bahwa meskipun Indonesia memiliki cadangan gas terbesar ketiga di Asia Pasifik, produksi gas domestik terus menurun sejak puncaknya pada 2010.

Laporan tersebut menyatakan bahwa “Indonesia berpotensi menjadi negara pengimpor gas sepenuhnya pada tahun 2040″. GEM mengungkapkan bahwa pemanfaatan gas domestik di Indonesia telah melampaui volume ekspor.

“Penggunaan gas dalam negeri diperkirakan meningkat hingga 24 persen dalam bauran energi pada tahun 2050. Pada saat itu, impor gas Indonesia diproyeksikan menyentuh lebih dari 30 persen dari total kebutuhan,” jelas GEM dalam laporannya.

Terdapat 14 gigawatt (GW) proyek pembangkit listrik tenaga gas yang sedang dalam pengembangan di Indonesia, dengan hampir 5 GW di antaranya sudah memasuki tahap konstruksi. Indonesia juga memiliki fasilitas ekspor LNG berkapasitas 23 juta ton per tahun (mtpa) yang sudah beroperasi, serta 12 mtpa dalam pengembangan.

Selain itu, terdapat fasilitas impor LNG terbesar di Asia Tenggara dengan kapasitas 15 mtpa yang sudah beroperasi dan 2,3 mtpa dalam pengembangan.

“Indonesia, bersama Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Thailand berada di garis terdepan dalam ekspansi infrastruktur gas yang total biayanya mencapai USD 220 miliar,” tulis laporan GEM.

Tenaga surya dan angin semakin kompetitif

Ekspansi gas ini dinilai kontras dengan potensi energi terbarukan yang lebih murah dan beremisi lebih rendah. GEM mencatat biaya pembangkitan listrik dari energi surya dan angin di Asia Tenggara sudah semakin kompetitif dibandingkan gas.

Menurut GEM, energi surya dan angin di Asia Tenggara dapat memenuhi dua pertiga proyeksi permintaan listrik pada tahun 2030 jika dikembangkan secara masif.

“Mengembangkan energi terbarukan yang hemat biaya akan mengamankan Asia Tenggara dari harga gas yang tidak stabil dan merupakan jalur yang lebih hijau ke depannya,” kata Warda Ajaz, Project Manager for Asia Gas Tracker Global Energy Monitor.

Selain itu, laporan GEM juga menyoroti peran lembaga keuangan internasional dalam pendanaan proyek gas di Asia Tenggara. Mekanisme seperti Just Energy Transition Partnership (JETP) yang seharusnya mendukung transisi ke energi bersih, malah digunakan untuk mengembangkan infrastruktur gas. Proposal JETP Indonesia, misalnya, mencakup rencana konversi pembangkit listrik berbahan bakar diesel ke gas. Hal ini menunjukkan bahwa tanpa batasan yang jelas, mekanisme ini bisa mengunci ketergantungan negara-negara Asia Tenggara pada gas.

Laporan GEM juga mengungkap bahwa Jepang, melalui empat bank utamanya, telah memberikan pembiayaan sebesar USD 9,7 miliar untuk proyek gas di Asia Tenggara dalam dekade terakhir. Langkah ini dinilai sebagai upaya Jepang untuk mengamankan ketahanan energinya dan membantu perusahaan utilitasnya mengelola kelebihan kontrak LNG.

Dalam rangka memastikan ketahanan energi jangka panjang, GEM menyarankan agar Asia Tenggara fokus pada pengembangan proyek energi terbarukan yang dilengkapi dengan teknologi penyimpanan energi. Hal ini tidak hanya akan mengurangi ketergantungan pada gas, tetapi juga meningkatkan stabilitas jaringan listrik di wilayah ini. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles