Jakarta – Lembaga think tank Energy Shift Institute (ESI) memperingatkan perusahaan batu bara Indonesia berisiko terjebak dalam krisis struktural seiring turunnya tren global terhadap energi fosil. ESI mengatakan bahwa rekor produksi batu bara nasional yang menembus 836 juta ton pada 2024 dan total laba industri mencapai USD31,4 miliar dalam lima tahun terakhir, dapat berubah drastis dalam waktu dekat. Menurut ESI, tanpa strategi diversifikasi yang serius,
“Keuntungan tinggi yang dinikmati sektor batu bara saat ini hanyalah momentum sementara, bukan cerminan dari kekuatan struktural,” tegas Hazel Ilango, Principal ESI dan pemimpin studi transisi batu bara Indonesia, dalam peluncuran laporan terbaru mereka, Selasa, 17 Juni.
Selama 2019–2023, sektor batu bara hanya kalah dari perbankan dalam hal profitabilitas. Namun, ESI mencatat tanda-tanda bahwa masa emas ini tak akan berlangsung lama. Harga batu bara, meski masih di atas level pra-pandemi, telah turun lebih dari 50 persen sejak puncaknya pada 2022. Ini terjadi bersamaan dengan peningkatan tekanan internasional untuk meninggalkan energi berbasis emisi tinggi.
Tak bisa dimungkiri, batu bara masih menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia. Kontribusinya terhadap PDB nasional mencapai 3,6%, dan bahkan hingga 40% di Kalimantan Timur. Di Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan, kontribusi serupa masing-masing berada di angka 25% dan 15%.
Risiko tinggi, konsentrasi besar, dan ketergantungan ekspor
Studi ESI terhadap 12 perusahaan batu bara Indonesia menunjukkan bahwa struktur industri sangat terpusat: US$31,4 miliar keuntungan hanya berasal dari 28 perusahaan. Sementara itu, ekspor ke China dan India mendominasi pasar, mencapai 63% dari total ekspor batu bara pada 2023.
“Model bisnis yang sangat bergantung pada satu komoditas dan pasar utama seperti ini sangat rentan. Perubahan kebijakan atau permintaan dari satu negara bisa berdampak besar,” jelas Putra Adhiguna, peneliti ESI dan salah satu penulis laporan.
Meski penuh risiko, ESI menilai industri masih punya peluang untuk bermanuver. Mayoritas tambang di Indonesia tergolong aset matang dengan modal investasi rendah, dan perusahaan batu bara juga memiliki rasio utang-ekuitas rata-rata hanya 21%, jauh lebih sehat dibanding perusahaan global yang rata-rata di angka 101%.
“Dengan arus kas yang kuat dan kepercayaan pasar yang relatif stabil, Indonesia punya posisi ideal untuk memulai transisi terstruktur. Tapi jendela ini tidak akan terbuka lama,” ujar Putra.
Pemerintah dinilai kontraproduktif
Sayangnya, ESI juga menyoroti bahwa sejumlah kebijakan pemerintah justru memperberat transisi, seperti kewajiban pasar domestik (DMO), retensi devisa ekspor (DHE), serta kenaikan royalti yang lebih tinggi dibanding komoditas lain. Hal ini dinilai mendorong perusahaan untuk mengejar cuan jangka pendek ketimbang merancang masa depan yang berkelanjutan.
“Perusahaan tidak akan bergerak hanya dengan imbauan. Diperlukan insentif konkret agar sektor ini mau beralih ke energi bersih dan industri hijau,” kata Putra lagi.
ESI mencatat bahwa hanya segelintir perusahaan yang mulai menjajaki proyek energi terbarukan, efisiensi karbon, atau diversifikasi industri. Sebagian besar masih berada dalam tahap eksplorasi dini—tanpa perubahan signifikan dalam model bisnis.
Hazel Ilango memperingatkan bahwa perusahaan yang memilih menunggu hingga cadangan batu bara habis justru mengambil risiko jangka panjang yang lebih besar. “Kondisi ini bukan hanya soal emisi atau lingkungan, tapi juga soal ketahanan bisnis,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa landskap energi global telah bergeser secara sistematis, dan Indonesia tak bisa menutup mata. Di China, misalnya—yang selama ini menjadi pembeli utama batu bara Indonesia—tiga perempat pertumbuhan listrik baru sudah dipasok oleh energi bersih. (Hartatik)
Foto banner: Pexels.com