Ekosida dan korupsi: Dimensi baru pelanggaran hak azasi manusia

oleh: Eko Prasetyo*

Kerusakan lingkungan berskala besar, atau yang dikenal dengan istilah ekosida, bukan sekadar masalah ekologi, tetapi juga merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia (HAM). Ekosida sering kali menjadi hasil dari praktik korupsi yang sistemik, sehingga memperparah dampak lingkungan dan merugikan kelompok rentan yang hidup bergantung pada alam. Kombinasi antara ekosida dan korupsi ini menciptakan tantangan besar bagi upaya perlindungan lingkungan sekaligus pemenuhan hak-hak dasar manusia.

Ekosida: Ancaman yang sistemik

Ekosida, atau “ecocide”, merujuk pada tindakan yang menyebabkan kerusakan lingkungan serius, meluas, dan jangka panjang. Istilah ini mulai digunakan pada 1970-an untuk menggambarkan dampak perang dan eksploitasi industri terhadap lingkungan, seperti penggunaan bahan kimia dalam Perang Vietnam. Kini, ekosida semakin diakui sebagai bentuk kejahatan terhadap lingkungan, dengan banyak pihak mendorong pengakuannya dalam kerangka hukum internasional.

Pada 2021, Stop Ecocide Foundation mendefinisikan ekosida sebagai “tindakan melanggar hukum atau lalai yang dilakukan dengan pengetahuan bahwa ada kemungkinan besar terjadinya kerusakan lingkungan parah.” Definisi ini telah memotivasi negara-negara seperti Vanuatu, Fiji, dan Samoa untuk mengajukan proposal ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC) agar ekosida dimasukkan ke dalam Statuta Roma.

Walaupun pengakuan internasional masih dalam proses, sejumlah negara telah mengambil langkah lebih dulu. Saat ini, 15 negara seperti Perancis, Rusia, dan Ekuador telah mengatur ekosida dalam undang-undang mereka, dengan 7 negara lainnya sedang dalam proses perumusan.

Korupsi sebagai penghambat perlindungan lingkungan

Di Indonesia, korupsi telah menjadi akar masalah yang memperparah kerusakan lingkungan. Praktik korupsi, baik dalam bentuk suap, lobi, maupun manipulasi kebijakan, memungkinkan pelanggaran regulasi lingkungan berlangsung tanpa hambatan. Misalnya, penebangan hutan secara ilegal, polusi akibat limbah industri, hingga eksploitasi sumber daya alam sering kali dimuluskan oleh pejabat yang “memenangkan” keuntungan pribadi di atas kepentingan ekosistem.

Dampak korupsi ini sangat sistemik. Pertama, ia melemahkan penegakan hukum lingkungan. Ketika pejabat yang seharusnya melindungi lingkungan justru menjadi bagian dari masalah, pengawasan menjadi tak efektif. Kedua, korupsi mendorong eksploitasi sumber daya alam tanpa memperhatikan dampak ekologis. Dalam situasi ini, keseimbangan lingkungan dikorbankan demi keuntungan jangka pendek.

Kasus penambangan timah ilegal oleh PT Timah Tbk dengan pihak swasta adalah contoh nyata bagaimana korupsi berdampak pada kerusakan ekologis. Kerugian negara mencapai Rp271 triliun, dengan sebagian besar disebabkan oleh kerusakan hutan dan kawasan nonhutan. Biaya pemulihan ekologis dan ekonomi lingkungan dari kasus ini pun sangat besar, mencerminkan betapa kompleksnya persoalan yang harus dihadapi.

Negara sebagai Wali Alam

Dalam konstitusi Indonesia, Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa sumber daya alam dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Prinsip ini dikenal sebagai doktrin “public trust,” yang menempatkan negara sebagai wali alam, bukan pemiliknya. Sebagai wali, negara bertanggung jawab untuk melindungi, mengelola, dan memulihkan lingkungan demi kesejahteraan rakyat dan generasi mendatang.

Namun, tanggung jawab ini sering kali terhambat oleh minimnya komitmen dan lemahnya kebijakan berbasis bukti ilmiah. Dalam banyak kasus, kebijakan pembangunan lebih mengutamakan eksploitasi sumber daya alam tanpa mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan. Untuk mengatasi hal ini, prinsip-prinsip internasional seperti polluter pays dan precautionary principle harus diterapkan secara lebih tegas.

Selain itu, pendekatan berbasis bukti (evidence-based policy) perlu menjadi landasan dalam merancang kebijakan lingkungan. Contohnya, tata ruang berkelanjutan, penelitian ekosistem yang mendalam, serta investasi dalam teknologi hijau harus diprioritaskan. Penguatan hukum adat yang sejalan dengan perlindungan lingkungan juga dapat menjadi solusi efektif, terutama untuk menjaga keanekaragaman hayati di tingkat lokal.

Perkiraan kerugian yang tak terkira

Kerugian akibat kerusakan lingkungan tidak hanya mencakup aspek finansial, tetapi juga kerugian ekologis yang sulit diukur secara material. Misalnya, kerusakan hutan akibat penambangan tidak hanya menghancurkan ekosistem, tetapi juga memengaruhi kualitas hidup masyarakat sekitar. Kerugian ini menjadi lebih kompleks karena dampaknya sering kali berlangsung lama dan sulit dipulihkan sepenuhnya.

Konsep negara sebagai wali alam memberikan landasan untuk merancang kebijakan yang tidak hanya berfokus pada pemulihan kerugian material, tetapi juga memprioritaskan kelestarian ekosistem. Sebagai contoh, biaya pemulihan lingkungan yang dihitung dalam kasus penambangan timah ilegal mencakup kerugian ekologis sebesar Rp157 triliun. Angka ini mengingatkan kita bahwa biaya kerusakan lingkungan jauh melampaui kerugian ekonomi semata.

Mengatasi ekosida dan korupsi membutuhkan komitmen dari semua pihak. Negara harus memimpin dengan kebijakan yang mendukung keberlanjutan, termasuk reformasi institusi yang lebih transparan dan akuntabel. Dunia usaha harus bertanggung jawab atas dampak lingkungan dari aktivitas mereka, sementara masyarakat harus diberdayakan untuk berperan aktif dalam menjaga ekosistem.
Di tingkat global, kerja sama internasional diperlukan untuk memperkuat regulasi yang melindungi lingkungan. Pengakuan ekosida sebagai kejahatan internasional dapat menjadi langkah penting dalam mendorong akuntabilitas para pelaku kejahatan lingkungan.

Penegakan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat bukan sekadar kewajiban hukum, tetapi juga bagian dari tanggung jawab moral untuk menjaga keberlanjutan bumi. Dengan menjadikan lingkungan sebagai prioritas, Indonesia dapat mengambil peran sebagai pemimpin global dalam upaya melawan krisis lingkungan. Warisan yang kita tinggalkan hari ini akan menjadi pondasi bagi kehidupan generasi mendatang.

*Penulis adalah peneliti Pusat Studi Agama & Demokrasi
dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
eko.prasetyo [at] uii.ac.id

Pandangan yang diungkapkan dalam tulisan ini adalah milik penulis dan tidak mewakili pendapat atau kebijakan tanahair.net.

 

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles