Jakarta – Sektor teknologi ramah lingkungan (greentech) semakin menarik bagi investor global, tercermin dari meningkatnya pendanaan untuk perusahaan rintisan (startup) teknologi ramah lingkungan, yang mencapai USD 92 miliar di seluruh dunia pada tahun 2024, atau meningkat 10% dari tahun sebelumnya. Hal ini mengindikasikan bahwa teknologi ramah lingkungan menawarkan solusi bagi perubahan iklim, yang memungkinkan tercapainya emisi nol, kata para analis.
Avina Sugiarto, Partner di East Ventures, salah satu perusahaan modal ventura terbesar, mengatakan dalam laporan investor terbaru perusahaan ini bahwa pertumbuhan greentech tidak hanya didorong oleh kebutuhan lingkungan, namun juga kemajuan teknologi.
Ia mengatakan bahwa banyak perusahaan rintisan yang menggabungkan analisis data, AI (kecerdasan buatan), dan IoT (Internet of Things) ke dalam model mereka, menciptakan solusi yang lebih tepat, efektif, dan terukur.
Teknologi-teknologi ini memungkinkan sistem energi yang lebih cerdas, pemantauan emisi secara real-time, dan pengelolaan sumber daya yang lebih efisien, yang berkontribusi pada ekonomi yang lebih ramah lingkungan, ujarnya.
Asia Tenggara muncul sebagai pemain kunci dalam lanskap ini, dengan perusahaan rintisan di kawasan ini mendapatkan sekitar USD 191 juta pada tahun 2024.
“Yang mengesankan, lebih dari 90% dari pendanaan ini mengalir ke Indonesia, menyoroti semakin pentingnya negara ini dalam ekonomi hijau regional,” katanya.
Beberapa perusahaan yang didukung oleh East Ventures mendorong kemajuan ini di Indonesia, seperti Xurya dan Jejakin, yang merupakan salah satu yang terdepan dalam hal ini. Inovasi mereka menjadi contoh bagaimana pengusaha lokal mengatasi tantangan iklim sembari berkontribusi pada pembangunan ekonomi.
“Kami percaya bahwa komitmen untuk mencari solusi kolaboratif, bersama dengan kontribusi dari semua pemangku kepentingan, mengirimkan sinyal positif bagi masa depan sektor teknologi ramah lingkungan,” kata Avina.
Selain itu, inisiatif seperti Climate Impact Innovations Challenge (CIIC), platform teknologi inovasi iklim terbesar di Indonesia, yang diselenggarakan oleh East Ventures dan Temasek Foundation, merupakan bagian dari upaya-upaya untuk memajukan solusi iklim yang inovatif dan berbasis teknologi.
Sejak tahun 2023, CIIC telah berhasil mempertemukan lebih dari 800 inovator ramah lingkungan, yang berperan sebagai katalisator inovasi dan mempercepat pengembangan solusi yang berkelanjutan. Tahun ini, CIIC 2025 akan fokus pada tiga bidang: Transisi Energi, Pertanian Berkelanjutan, dan Ekonomi Sirkular.
Masa depan lanskap bisnis global semakin berpusat pada keberlanjutan dan tanggung jawab terhadap lingkungan, seiring dengan meningkatnya kesadaran akan isu-isu ekologi di kalangan masyarakat di seluruh dunia. Dampak perubahan iklim, mulai dari kenaikan suhu global hingga peristiwa cuaca ekstrem, telah menggarisbawahi kebutuhan mendesak akan tindakan untuk melindungi umat manusia dan planet ini.
Mencerminkan prioritas global ini, 196 negara sepakat pada COP 26 PBB (Konferensi Perubahan Iklim 26) pada tahun 2021 tentang target pencapaian emisi nol bersih (NZE) pada tahun 2050. NZE bertujuan untuk mengurangi gas rumah kaca yang dilepaskan ke atmosfer, baik secara alami maupun melalui teknologi.
Tujuannya adalah untuk membatasi pemanasan global hingga maksimum 1,5°C antara tahun 2030 dan 2050 untuk mengurangi dampak perubahan iklim yang paling parah.
Indonesia, sebagai salah satu negara penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, memiliki peran penting dalam upaya bersama ini. Perjalanan menuju NZE 2050 membutuhkan partisipasi dari seluruh lapisan masyarakat, termasuk pemerintah, perusahaan, investor, dan perusahaan rintisan, untuk mempercepat transisi menuju energi bersih dan praktik-praktik yang berkelanjutan. (Roffie Kurniawan)
Foto banner: Gambar dibuat menggunakan OpenAI DALL·E via ChatGPT (2025)