Dekarbonisasi jadi tantangan transisi energi hijau negara berkembang

Vice President for Private Sector Operations and Public-Private Partnerships Asian Development Bank, Ashok Lavasa memberi paparan tentang memperlancar transisi energi hijau dan adil di Asia dan Pasifik pada T20 Summit 2022 di Nusa Dua, Bali, Senin (5/9).

Nusa Dua, Bali – Dekarbonisasi menjadi tantangan bagi negara berkembang pada masa transisi energi hijau, menurut para analis, Senin (5/9). Negara-negara berkembang dan negara yang memiliki sektor bahan bakar fosil yang besar diperkirakan harus mengeluarkan belanja lebih besar untuk fisik, relatif terhadap pendapatan domestik bruto (PDB), dekarbonisasi dan pertumbuhan rendah karbon.

Direktur Pusat Ekonomi dan Kebijakan Iklim Universitas Nasional Australia (ANU), Frank Jotzo menyampaikan, kekhawatiran yang terjadi saat ini ketika masalah tersebut berdampak terhadap hilangnya pekerjaan. Menurut pandangannya, perhitungan soal pergantian dari bahan bakar fosil yang akan memakan banyak biaya juga perlu untuk diperhitungkan.

“Ini adalah kekhawatiran yang sebenarnya. Dalam hal ini, negara-negara perlu membuat strategi tertentu untuk melihat langkah praktis dalam menyediakan layanan infrastruktur yang baik, namun juga terjangkau bagi konsumen dan industri,” ujarnya.

Frank hadir sebagai panelis dalam plenary session KTT T20, bertajuk “Smoothing Green and Just Energy Transition”, 5-6 September 2022 di Nusa Dua, Bali. Indonesia saat ini tengah memegang presidensi G20, hingga pertemuan puncaknya pada November 2022 mendatang. Seiring dengan berjalannya presidensi G20, T20 hadir sebagai salah satu engagement groups yang menjadi wadah para ahli dan analis untuk berdiskusi dalam merekomendasikan solusi yang akan dimanfaatkan dalam pertemuan puncak atau Leaders Summit mendatang.

Para ahli diharapkan dapat memberikan berbagai wawasan tentang upaya yang dapat dilakukan publik atau swasta untuk memastikan transisi hijau dan energi dapat berjalan dengan lancar dan bagaimana G20 dapat berkontribusi dalam proses tersebut.

Beberapa panelis dalam sesi ini, antara lain Direktur Institut Pembangunan Jerman (DIE) Anna-Katharina Hornidge, Direktur Pusat Ekonomi dan Kebijakan Iklim Universitas Nasional Australia (ANU) Frank Jotzo, Wakil Presiden Kantor Regional Asia The Rockefeller Foundation Deepali Khanna, Wakil Direktur/Pimpinan Sektor Global untuk Energi Terbarukan Global Green Growth Institute (GGGI) Nishant Bhardwaj.

Nathan Hultman, Direktur Pusat Keberlanjutan Global di Universitas Maryland mengingatkan bahwa transisi energi penting sebab dapat meningkatkan kualitas hidup manusia di seluruh dunia. Karena itu, T20 dan G20 memainkan peran penting untuk memastikan transisi energi hijau sehingga nantinya berjalan adil, lancer, cepat dan tepat.

Sementara itu, Wakil Presiden Kantor Regional Asia The Rockefeller Foundation Deepali Khanna menilai ada peran penting yang bermain dalam transisi energi hijau yakni negosiasi, stabilitas politik dan ekonomi.

“Dalam membangun transisi energi, sangat penting untuk menjauhkan perspektif politik seperti perang Rusia-Ukraina saat ini. Selain itu, penting juga untuk mendalami soal fiskal ekonomi yang belum terpenuhi,” ungkap Deepali. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles