Jakarta – World Agroforestry (ICRAF) mengungkapkan hasil penelitiannya tentang kondisi cekungan air tanah di Daerah Aliran Sungai (DAS) Rejoso di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, Kamis, (25/8). Lembaga riset internasional dalam bidang agroforestri ini menemukan bahwa cadangan air tersebut bakal mengering sekitar 30 tahun ke depan, jika efisiensi pemanfaatan air dan konservasi daerah tangkapan air tidak segera dilakukan. Dalam temuannya, pada 1980-an, debit mata air Umbulan masih sekitar 6.000 liter per detik. Namun debit mata air itu turun drastis pada 2018 yakni kurang dari 4.000 liter per detik.
DAS Rejoso yang berada di kaki Gunung Bromo memiliki fungsi sangat strategis, yakni sebagai penyedia berbagai jenis jasa sumber daya alam. Mata air Umbulan yang berada di hilir DAS Rejoso merupakan sumber air bersih, tidak hanya bagi masyarakat di Kabupaten Pasuruan, tetapi juga di Kota Pasuruan, Kabupaten Gresik, Kabupaten Sidoarjo, dan Kota Surabaya.
Saat ini tekanan ekologi terhadap DAS Rejoso makin meningkat. Di daerah hulu terjadi perubahan tutupan lahan, dari hutan menjadi pertanian dan pemukiman yang mempercepat laju erosi. Selain itu, banyak ditemui aktifitas penambangan galian C (batu dan pasir). Di kawasan hilir, pengeboran air untuk keperluan industri meningkat. Tahun 2020 terdapat sekitar 600 titik sumur bor yang dibuat masyarakat untuk keperluan domestik dan pertanian dengan debit antara 2-20 liter per detik. Sumur bor tidak dilengkapi keran pengatur sehingga air banyak terbuang percuma.
Bila cekungan air tanah di DAS Rejoso kering, petani dan peternak pemakai air akan kesulitan. Sumur di rumah ibadah, sekolah, dan rumah tangga akan kering. Pelanggan air bersih dari SPAM (Sistem Penyediaan Air Minum) Umbulan yang mencapai jumlah 1,6 juta jiwa tentu juga akan kesulitan.
Sebagai upaya mengatasi persoalan tersebut, pada 2016 sampai 2018, Rejoso Kita melaksanakan program percontohan skema pembayaran jasa lingkungan untuk konservasi hulu dan tengah DAS Rejoso.
Sebanyak 174 petani dari 12 kelompok tani pengelola lahan seluas 106.6 hektar di tujuh desa di Kecamatan Tosari dan Pasrepan mendapatkan pembayaran jasa lingkungan (Rp 1.5-3.2 juta/ha/tahun) atas upaya konservasi yang mereka lakukan, seperti menjaga dan mempertahankan 300-500 pohon per hektar, membuat strip rumput penahan erosi, dan membuat rorak untuk meningkatkan infiltrasi air hujan. Bertindak sebagai pembeli jasa lingkungan adalah PT Tirta Investama (Pabrik Keboncandi), produsen air minum dalam kemasan merek AQUA di Pasuruan.
Simulasi komputer dilakukan oleh ICRAF menggunakan model hidrologi GenRiver – Generic Riverflow menggambarkan bahwa skema pembayaran jasa lingkungan yang dilakukan dengan menjaga jumlah tegakan sebanyak 500 pohon per hektar, mampu meningkatkan infiltrasi sebanyak 0,5 – 1% dan menurunkan limpasan permukaan sebanyak 1,5 – 2%.
Untuk memperkuat pemahaman dan kepedulian tentang kondisi terkini DAS Rejoso dan DAS-DAS lain di Kabupaten Pasuruan serta urgensi dilakukannya upaya-upaya konservasi, Forum Koordinasi Pengelolaan DAS Kabupaten Pasuruan atau FDP mengadakan acara lokakarya bertema “Pengelolaan DAS Terpadu di Wilayah Kabupaten Pasuruan Melalui Investasi Bersama Sumber Daya Air” di Jakarta pada 25 Agustus 2022 yang dihadiri kalangan pemerintah pusat dan perwakilan perusahaan yang beroperasi di wilayah Kabupaten Pasuruan.
Dr Beria Leimona, Senior Expert Landscape Governance and Investment, ICRAF Indonesia Program, mengatakan bahwa skema pembayaran jasa lingkungan seperti yang dilaksanakan di hulu dan tengah DAS Rejoso pada dasarnya adalah skema ko-investasi.
“Dalam skema tersebut, ada pihak yang berperan sebagai penjual jasa lingkungan (misalnya petani pengelola lahan yang melakukan konservasi tanah dan air), lalu ada pihak pembeli jasa lingkungan, yaitu para pihak yang menikmati jasa lingkungan, misalnya ketersediaan air bersih, dan yang terakhir adalah pihak perantara, biasanya konsorsium atau forum yang disepakati bersama untuk mengelola program seperti melakukan identifikasi dan verifikasi lahan, mengukur indikator capaian, melakukan monitoring kinerja, juga menyalurkan dana kompensasi,” ungkapnya dalam lokakarya.
Pelaksanaan skema pembayaran jasa lingkungan untuk tujuan konservasi DAS, menurutnya, perlu dilaksanakan dengan prinsip-prinsip kearifan lokal. Misalnya dalam pemilihan jenis pohon yang ditanam oleh petani sendiri karena pertimbangan manfaat, sehingga dapat menumbuhkan rasa memiliki. Selain itu, penilaian program tidak hanya dilakukan dari segi aktivitas, tetapi juga dari keluaran berupa angka penurunan erosi dan peningkatan infiltrasi air.
Sementara itu, Dr Ir Heru Hendrayana, Peneliti Senior dari Universitas Gadjah Mada, menjelaskan bahwa keberhasilan penerapan skema imbal jasa lingkungan DAS Rejoso secara saintifik dan akademik sudah terukur dan harus dilanjutkan.
“Tetapi untuk bisa berlanjut, hal ini perlu masuk ke dalam program pemerintah yang akan menjamin keberlanjutan.”
Memaparkan bahwa data terakhir debit Mata Air Umbulan bahkan sudah sangat menurun sampai sekitar 2900 liter per detik, Heru menegaskan kondisi sudah sangat kritis dan memerlukan tindakan nyata, menyetop kebocoran air, dan melakukan upaya pengisian dengan konservasi. (Hartatik)
Petani pemanfaatan air tanah di hilir DAS Rejoso di Kabupaten Pasuruan, Provinsi Jawa Timur, Indonesia, berpartisipasi dalam program Rejoso Kita yang dipimpin oleh ICRAF membahas pembangunan sumur bor yang efisien. (Sumber: Channel Youtube Rejoso Kita)