CREA dan Trend Asia minta pemerintah optimalkan skema pendanaan transisi energi

Jakarta – Laporan yang dirilis Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) bersama Trend Asia menilai pemerintah masih ambigu dalam menerapkan kebijakan transisi energi, khususnya dalam sektor pembangkit listrik. Laporan yang dirilis Maret, berjudul “Ambiguitas versus Ambisi: Tinjauan Kebijakan Transisi Energi Indonesia,” sekitar 33 persen dari 58 gigawatt (GW) total kapasitas pembangkit terpasang berbahan bakar fosil di Indonesia telah melebihi kebutuhan untuk memenuhi permintaan puncak.

Andri Prasetiyo, Manajer Program Trend Asia mengungkapkan, kelebihan pasokan listrik tersebut melebihi standar margin cadangan listrik nasional sebesar 30–35 persen, dengan biaya operasi dan pemeliharaan tetap sekitar Rp 16 triliun (USD 1,2 miliar) untuk menjaga kelebihan kapasitas ini dalam kondisi kerja. Menurutnya, skema energy transition mechanism (ETM) dan just energy transition partnership (JETP) yang saat ini ditawarkan di Indonesia akan menjadi peluang yang sangat penting untuk mempercepat transisi.

“Terutama, untuk membiayai pensiun dini PLTU batubara dan mendorong perkembangan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan, khususnya tenaga surya dan angina,” ujarnya.

Selain itu, lanjutnya, kebijakan dan rencana investasi yang baru dan penting di bawah Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) sangat dinantikan. Dalam laporan itu, ia menilai peran Indonesia dalam menyikapi krisis iklim tidak dapat diremehkan. Begitu pula tantangan untuk mengatasi bauran energi di dalam negeri.

Dengan cadangan batubara terbesar ke-11 di dunia, Indonesia adalah produsen terbesar ke-3 sekaligus menjadi salah satu konsumen terbesar di dunia. Meski negara-negara di Asia Tenggara akan menghadapi banyak tantangan dalam peralihan dari batubara, namun sumber daya yang melimpah dan potensi energi rendah karbon seperti tenaga surya, air, angin, dan panas bumi menjadi latar belakang yang dapat menjadikan Indonesia sebagai pemain kunci dalam transisi energi hijau.

“Kombinasi berbagai pilihan langkah ini dapat mendukung pencapaian skenario net-zero yang optimis pada 2040,” imbuhnya.

CREA dan Trend Asia merumuskan beberapa rekomendasi penting dan strategis bagi pemerintah yang dipaparkan dalam laporan. Di antaranya membatalkan semua pembangkit listrik berbahan bakar fosil baru dalam rencana, mengevaluasi kembali proyek bahan bakar fosil yang tunduk pada pembaruan Power Purchase Agreement (PPA) untuk membebaskan utilitas dan perusahaan distribusi dari biaya kapasitas besar yang harus dibayar untuk menjaga pembangkit listrik bahan bakar fosil yang menganggur dalam kondisi operasi. Sebaliknya, keuangan dapat dimanfaatkan untuk peningkatan efisiensi dan pengadaan sumber energi terbarukan yang lebih murah.

Lalu mempercepat jadwal penghentian pembangkit listrik batubara, sembari meningkatkan penerapan teknologi energi surya dan angin. Mengingat potensi penghematan tahunan dari penghentian kapasitas fosil yang berlebih, Indonesia harus merancang ulang rencana penghentian produksi dan menargetkan jadwal penghentian penggunaan batubara tahun 2040, yang diidentifikasi dalam peta jalan NZE. Kemudian mengungkapkan perjanjian pembelian listrik jangka panjang (PPA) dan rencana pensiun pembangkit listrik kepada publik.

“Pengungkapan perjanjian jual beli listrik oleh Pemerintah sangat penting untuk mendorong transparansi dan partisipasi publik,” tukasnya. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles