CPI 2024: Korupsi hambat upaya mitigasi krisis iklim

Jakarta – Transparency International dalam laporan “Corruption Perceptions Index (CPI) 2024” mengungkapkan bahwa korupsi menjadi hambatan serius dalam upaya mitigasi krisis iklim. Korupsi disebut tidak hanya melemahkan kebijakan lingkungan, tetapi juga mengalihkan dana yang seharusnya digunakan untuk mengatasi pemanasan global ke kepentingan lain yang tidak berdampak pada perlindungan lingkungan.

“Korupsi memperlambat upaya aksi iklim yang berarti. Tanpa transparansi dan akuntabilitas, dana yang dialokasikan untuk mitigasi krisis iklim dapat disalahgunakan, sementara kebijakan lingkungan yang penting bisa saja dilemahkan oleh kepentingan pribadi,” ujar CEO Transparency International, Maira Martini, dikutip dari laporan resmi CPI 2024, Jumat, 21 Februari.

Laporan CPI 2024 menyoroti skor indeks korupsi dari 180 negara, yang dihitung berdasarkan persepsi terhadap tingkat korupsi di sektor publik dengan skala 0 (sangat korup) hingga 100 (sangat bersih). Data menunjukkan bahwa negara-negara yang paling rentan terhadap perubahan iklim cenderung memiliki skor CPI rendah, yang mengindikasikan lemahnya tata kelola pemerintahan dan tingginya risiko korupsi.

Sebagai contoh, Indonesia memperoleh skor 37, lebih rendah dibandingkan beberapa negara lain di Asia Tenggara seperti Malaysia (47) dan Singapura (83). Sementara itu, Vietnam mendapat skor 40, dan Afrika Selatan 41. Negara-negara yang paling terdampak oleh perubahan iklim, seperti Sudan Selatan (8), Somalia (9), dan Venezuela (10), menunjukkan skor yang sangat rendah, mencerminkan tantangan besar dalam tata kelola lingkungan dan pengelolaan dana publik.

Laporan CPI juga menyoroti bahwa beberapa negara yang berperan dalam perundingan iklim global memiliki skor korupsi yang buruk atau mengalami penurunan dalam indeks ini. Brasil, yang akan menjadi tuan rumah COP 30 pada 2025, memperoleh skor 34. Azerbaijan, penyelenggara KTT iklim sebelumnya, memiliki skor 22. Uni Emirat Arab, yang memimpin COP 28 pada 2023, mencatat skor 68, relatif lebih baik tetapi tetap menghadapi tantangan dalam tata kelola yang bersih.

Negara-negara maju yang sering memimpin perundingan perubahan iklim juga mengalami penurunan skor CPI. Kanada mencatat skor 75, Selandia Baru 83, dan Amerika Serikat 65. Transparency International menyoroti bahwa negara-negara ini memiliki tanggung jawab besar dalam mendukung kebijakan iklim yang ambisius, mengurangi emisi dalam skala besar, dan memperkuat ketahanan global terhadap perubahan iklim.

“Negara-negara maju harus memastikan bahwa kebijakan dan pendanaan iklim tidak terhambat oleh kepentingan politik dan korupsi. Diperlukan langkah konkret untuk memperbaiki transparansi dalam pendistribusian dana iklim agar mencapai target yang telah ditetapkan,” lanjut Martini.

Sebagai solusi, Transparency International mengusulkan penerapan sistem transparansi dan akuntabilitas yang lebih ketat dalam kebijakan iklim global. Organisasi ini merekomendasikan peningkatan pengawasan terhadap pendanaan iklim, pembuatan mekanisme pelacakan penggunaan dana yang lebih jelas, serta penegakan hukum yang lebih ketat terhadap praktik korupsi yang merugikan lingkungan.

Laporan ini menjadi pengingat bahwa keberhasilan mitigasi perubahan iklim tidak hanya bergantung pada inovasi teknologi dan komitmen politik, tetapi juga pada tata kelola yang bersih dan transparan. Tanpa perbaikan dalam aspek ini, upaya untuk mencapai target net zero emission dapat terhambat oleh kepentingan pribadi dan praktik korupsi yang mengakar. (Hartatik)

Foto banner: Gambar dibuat menggunakan OpenAI DALL·E via ChatGPT (2025)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles