CERAH: 21 Proyek energi fosil dibiayai Danantara, risiko ‘stranded asset’ mengintai Indonesia

Jakarta – Kebijakan pemerintah membiayai proyek-proyek energi fosil dikritik para pengamat, yang dinilai berisiko menjadi stranded asset seiring peralihan global menuju energi terbarukan, menurut CERAH dalam keterangan resmi, Rabu, 19 Maret.

Pemerintah melalui Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) memutuskan untuk mengalokasikan dana investasi bagi 21 proyek hilirisasi energi dengan nilai mencapai USD 40 miliar. Proyek-proyek tersebut mencakup penyimpanan minyak, pembangunan kilang, gasifikasi batu bara, serta hilirisasi mineral seperti tembaga, nikel, dan bauksit. Sayangnya, dalam tahap pertama pendanaan ini, tidak ada satupun proyek energi terbarukan yang masuk dalam daftar prioritas.

Policy Strategist CERAH, Sartika Nur Shalati, mengingatkan bahwa dominasi investasi di sektor energi fosil bisa menjadi bumerang bagi Indonesia. Salah satu contoh yang ia soroti adalah proyek gasifikasi batubara menjadi Dimethyl Ether (DME), yang sempat digagas PT Bukit Asam (Persero). Berdasarkan kajian Institute of Energy Economic and Financial Analysis (IEEFA), proyek ini justru diprediksi mengalami kerugian hingga USD 377 juta per tahun.

“Proyek gasifikasi batubara ini sangat mahal dan tidak kompetitif dibandingkan dengan impor LPG. Jika dipaksakan, pemerintah hanya akan membebani keuangan negara,” ujar Sartika.

Selain risiko kerugian finansial, keputusan Danantara untuk membiayai proyek berbasis fosil juga meningkatkan ancaman stranded asset. Infrastruktur energi seperti tambang batubara, kilang minyak, dan pembangkit listrik berbasis fosil dapat kehilangan nilai ekonomisnya lebih cepat dari yang diperkirakan. Hal ini terjadi karena permintaan terhadap bahan bakar fosil terus menurun akibat kebijakan transisi energi global.

Uni Eropa, misalnya, mulai menerapkan kebijakan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM), yang akan mengenakan pajak tambahan pada produk dengan jejak karbon tinggi. Jika Indonesia tetap bertumpu pada industri berbasis energi fosil, maka produk ekspor berisiko kehilangan daya saing di pasar internasional.

“Seharusnya, Danantara dimanfaatkan untuk mendukung transisi energi, misalnya dengan mendanai pengembangan energi terbarukan dan pensiun dini PLTU. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Pendanaan masih lebih berpihak pada industri batubara dan migas,” lanjut Sartika.

Senada dengan Sartika, Policy Strategist CERAH lainnya, Wicaksono Gitawan, juga menyoroti besarnya dana yang dialokasikan untuk proyek fosil. Menurutnya, nilai investasi gasifikasi batubara menjadi DME yang diperkirakan mencapai Rp 180,8 triliun seharusnya bisa digunakan untuk mendanai proyek energi bersih.

“Ini angka yang besar. Jika digunakan untuk membangun infrastruktur energi terbarukan, tentu dampaknya jauh lebih positif bagi ketahanan energi jangka panjang Indonesia,” kata Wicaksono.

Dampak finansial bagi BUMN

Dana yang dikelola Danantara berasal dari berbagai sumber, termasuk efisiensi anggaran negara serta aset-aset strategis BUMN. Saat ini, tujuh BUMN tercatat sebagai entitas yang terlibat dalam pengelolaan Danantara, yakni PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT Pertamina, PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT Mineral Industri Indonesia (MIND ID), PT Bank Mandiri, PT Bank Negara Indonesia (BNI), dan PT Bank Rakyat Indonesia (BRI).

Dengan total dana kelolaan mencapai USD 900 miliar, ketergantungan pada investasi jangka panjang dapat mempengaruhi likuiditas negara. Jika proyek yang dibiayai mengalami kerugian atau gagal memberikan imbal hasil yang sesuai harapan, stabilitas ekonomi nasional bisa terancam.

“BUMN yang asetnya dikelola Danantara bisa kehilangan sebagian kontrol terhadap investasinya sendiri. Ini bisa berdampak besar pada struktur permodalan dan daya saing perusahaan-perusahaan tersebut,” tambah Sartika.

Pentingnya transparansi dan akuntabilitas

Selain pemilihan proyek yang lebih tepat, Sartika juga menegaskan pentingnya tata kelola yang kuat dalam pengelolaan sovereign wealth fund (SWF) seperti Danantara. Tanpa transparansi dan akuntabilitas yang ketat, risiko penyalahgunaan dana dan konflik kepentingan bisa meningkat.

“Kita harus belajar dari skandal korupsi 1MDB di Malaysia. SWF harus dikelola secara transparan agar tidak menjadi alat kepentingan politik atau bisnis segelintir pihak,” tegasnya.

Namun, regulasi yang mengatur Danantara justru menimbulkan kekhawatiran baru. Pasal 3Y Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN menyebutkan bahwa menteri, organ, dan pegawai badan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas kerugian selama dapat membuktikan bahwa keputusan yang diambil bukan kesalahan atau kelalaian mereka.

“Ketentuan ini memiliki banyak celah dan sulit dibuktikan, terutama jika sistem pengawasan masih lemah. Dengan aturan seperti ini, risiko korupsi semakin besar,” tutup Sartika. (Hartatik)

Foto banner: Gambar dibuat menggunakan OpenAI DALL·E via ChatGPT (2025)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles