
Sumber: Kanal Youtube BMKG
Jakarta – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan bahwa dampak terhadap laju perubahan iklim dapat terlihat dari cuaca ekstrem yang kerap menghantam Indonesia, dalam keterangan tertulis, Rabu (23/3).
Tidak hanya intensitasnya yang bertambah, namun juga durasinya “mulai dari hujan lebat disertai kilat dan petir, siklon tropis, gelombang tinggi, hingga hujan es,” ujar Kepala BMKG Dwikorita Karnawati.
Menurutnya, Hari Meteorologi Dunia (HMD) 2022 yang diperingati pada 23 Maret menjadi momentum untuk meningkatkan kapasitas peringatan dini dan tindakan dini terhadap fenomena cuaca dan iklim. Ketika situasi tersebut bertemu dengan kerentanan lingkungan, maka fenomena ekstrem tersebut tidak jarang merembet menjadi bencana hidrometeorologi seperti banjir bandang, angin puting beliung, dan tanah longsor.
“Hari Meteorologi Sedunia, tanggal 23 Maret 2022, mengangkat tema ‘Early Warning and Early Action, Hydrometerological and Climate Information for Disaster Risk Reduction’, dapat kita artikan peringatan dini dan tindakan dini, serta menyoroti pentingnya informasi hidrometeorologi dan iklim untuk pengurangan risiko bencana,” imbuhnya.
Lebih lanjut, menurutnya, dampak perubahan iklim sudah terasa mulai 2016. BMKG mencatat secara keseluruhan, tahun 2016 merupakan tahun terpanas di Indonesia dengan nilai anomali sebesar 0.8 derajat celcius sepanjang periode pengamatan 1981 hingga 2020. Tahun 2020 sendiri menempati urutan kedua tahun terpanas dengan nilai anomali sebesar 0.7 derajat celcius, dengan tahun 2019 berada di peringkat ketiga dengan nilai anomali sebesar 0.6 derajat celsius.
Sebagai perbandingan, informasi suhu rata-rata global yang dirilis World Meteorological Organization (WMO) di laporan terakhirnya pada awal Desember 2020 juga menempatkan tahun 2016 sebagai tahun terpanas (peringkat pertama), dengan tahun 2020 sedang on-the-track menuju salah satu dari tiga tahun terpanas yang pernah dicatat.
“Kondisi ini pula yang mengakibatkan mencairnya salju abadi di Puncak Jaya, Papua. Bila awalnya luasan salju abadi sekitar 200 km persegi, maka kini hanya menyisakan 2 km persegi atau tinggal 1 persen saja. Salju dan es abadi di Puncak Jaya sendiri merupakan keunikan yang dimiliki Indonesia, mengingat wilayah Nusantara beriklim tropis,” tuturnya.
Fenomena lainnya, munculnya siklon tropis seroja yang mengakibatkan bencana banjir bandang dan longsor di Nusa Tenggara Timur (NTT) April 2021 lalu. Fenomena siklon bisa dikatakan sangat jarang terjadi di wilayah tropis seperti Indonesia. Namun, selama 10 tahun terakhir kejadian siklon tropis semakin sering terjadi.
“Jika situasi ini terus berlanjut, maka kasihan anak cucu kita, generasi penerus bangsa ini. Indonesia akan jauh lebih sering dilanda cuaca ekstrem dan bencana yang tidak hanya menimbulkan kerugian materil namun juga korban jiwa,” tukasnya. (Hartatik)