Jakarta – Dalam upaya mengatasi perubahan iklim dan mengurangi dampak kenaikan suhu global, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) akan meresmikan menara pemantauan gas rumah kaca (GRK) kedua di Jambi pada 18 Juli 2024. Pendirian menara ini diharapkan dapat memberikan profil GRK yang lebih detail dan mendukung upaya pengendalian perubahan iklim di Indonesia.
Salah satu langkah mitigasi yang penting adalah memantau GRK di atmosfer. Indonesia kini akan memiliki dua menara pemantau GRK. Menara pertama sudah beroperasi di Stasiun Pemantau Atmosfer Global di Bukit Kototabang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Menara kedua akan diresmikan di Jambi dalam rangka memperingati Hari Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika ke-77.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menegaskan bahwa isu perubahan iklim adalah fakta ilmiah berbasis data yang telah dikumpulkan oleh para ahli klimatologi di seluruh dunia, termasuk BMKG.
“Saat ini, ada sekitar 30 stasiun pemantau atmosfer global di dunia, dan Indonesia beruntung memiliki salah satunya,” jelas Dwikorita, dalam keterangan resmi, Jumat, 12 Juli.
“Perubahan iklim bukan hoaks atau mitos. Ini adalah kenyataan yang terukur sejak sebelum revolusi industri tahun 1860, dan semakin nyata setelah tahun 1970 dengan kenaikan suhu yang signifikan,” ujar Dwikorita.
Diungkapkannya bahwa dunia berkomitmen untuk mencegah kenaikan suhu di bawah 1,5 derajat Celsius guna menghindari dampak perubahan iklim yang lebih parah. Namun, analisis tahun 2022 menunjukkan bahwa suhu global telah naik sebesar 1,2 derajat Celsius, sementara di Indonesia kenaikannya mencapai 1 derajat Celsius.
“Perubahan iklim telah menyebabkan kejadian ekstrem basah dan kering di berbagai wilayah. Di Indonesia, hal ini ditandai dengan meningkatnya frekuensi bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, dan kekeringan,” tambahnya.
BMKG juga berencana untuk membangun sembilan menara pemantauan GRK tambahan yang akan dilengkapi dengan sensor meteorologi di berbagai wilayah Indonesia.
“Tujuan dari pembangunan menara ini adalah untuk memonitor gas rumah kaca secara lebih detail dan akurat. Data yang diperoleh akan menjadi basis bagi pemerintah dalam memutuskan kebijakan mitigasi perubahan iklim,” ungkap Dwikorita.
Dwikorita menekankan pentingnya mitigasi untuk mengurangi laju kenaikan suhu global. “Meskipun Indonesia belum mengalami kekeringan ekstrem seperti negara lain, dampak perubahan iklim seperti menurunnya sumber daya air atau kekeringan semakin nyata. Kekeringan akan semakin menguat dan frekuensinya bisa meningkat, bahkan saat musim hujan,” tuturnya.
Dengan adanya menara pemantauan GRK ini, Indonesia diharapkan dapat lebih efektif dalam memonitor dan mengendalikan emisi gas rumah kaca, serta mengambil langkah-langkah strategis untuk menghadapi tantangan perubahan iklim. (Hartatik)