Jakarta – Pemerintah Provinsi Bali bersama Institute for Essential Services Reform (IESR) resmi meluncurkan Peta Jalan Ketenagalistrikan Bali Menuju Emisi Nol Bersih 2045 pada Selasa, 15 Juli 2025 di Sanur, Bali.
Peluncuran ini menjadi tonggak penting dalam transisi energi bersih di Pulau Dewata, sebagai bagian dari upaya mewujudkan visi Bali Net-Zero Emission 2045.
Langkah tersebut selaras dengan filosofi pembangunan Bali “Nangun Sat Kerthi Loka Bali”, yang mengedepankan kesucian dan keharmonisan alam Bali sebagai landasan pembangunan berkelanjutan.
“Kemandirian energi bukan sekadar kebutuhan teknis, tapi bagian dari jati diri Bali sebagai provinsi kepulauan yang rentan terhadap gangguan pasokan,” ujar Ida Bagus Setiawan, mewakili Gubernur Bali dalam peluncuran dokumen tersebut.
Saat ini, sistem kelistrikan Bali memiliki kapasitas pembangkit sekitar 1.461 MW, dengan beban puncak yang sudah mencapai 1.200 MW. Cadangan daya yang tipis serta dominasi energi fosil — terutama gas dan batu bara — menjadikan sistem listrik Bali rawan gangguan.
Potensi energi terbarukan Bali capai 22 GW
Analisis IESR menunjukkan bahwa Bali memiliki potensi energi terbarukan sebesar 22,04 GW, didominasi oleh tenaga surya sebesar 21 GW, serta angin (515 MW) dan panas bumi (127 MW). Jika dimanfaatkan maksimal, seluruh kebutuhan listrik Bali yang diproyeksikan mencapai 44,71 TWh pada 2045 dapat dipenuhi dari sumber energi bersih.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, menyatakan bahwa Bali memiliki peluang menjadi provinsi pertama di Indonesia yang sepenuhnya menggunakan energi terbarukan, bahkan 15 tahun lebih cepat dari target nasional.
Analis IESR Alvin Putra Sisdwinugraha mengatakan implementasi roadmap dilakukan dalam empat fase. Pertama, 2025–2029 akan ada tambahan kapasitas energi terbarukan sebesar 1,5 GW dari surya, biomassa, bayu, sampah, dan minihidro. Pengurangan emisi diperkirakan mencapai 2,8 juta ton CO₂. Estimasi investasi sekitar USD 5,8 miliar. Kedua, 2030–2034 akan ada tambahan 1,4 GW pembangkit dan 400 MWh sistem penyimpanan energi. Estimasi biaya sekitar USD 1,7 miliar.
Fase ketiga, tahun 2035–2039, akan ada tambahan kapasitas sebesar 1,24 GW. Emisi dapat ditekan hingga 9 juta ton CO₂. Investasi sekitar USD 1,76–4,76 miliar. Pada fase terakhir, 2040–2045, akan ada perluasan kapasitas hingga 17 GW dan sistem penyimpanan 54 GWh. Estimasi investasi: USD 35 miliar.
Lima strategi utama IESR
Untuk mewujudkan roadmap ini, IESR mengusulkan integrasi roadmap ke dalam regulasi dan rencana pembangunan daerah dan perbaikan sistem pengadaan energi terbarukan, termasuk percepatan PLTS atap skala rumah tangga dan komersial. Strategi selanjutnya, IESR mengatakan perlu ada penguatan kapasitas lokal dengan pendirian pusat pelatihan dan riset energi bersih; regulasi dan teknologi baru, melalui enyusunan peraturan pendukung untuk uji coba dan inovasi teknologi. Terakhir, pemberdayaan masyarakat melalui dukungan terhadap inisiatif energi bersih di tingkat desa dan komunitas.
Fabby menekankan pentingnya peran PLN dan kementerian teknis seperti ESDM, Kementerian Keuangan, Bappenas, serta pihak swasta dan lembaga donor dalam menyukseskan transisi ini. (Hartatik)
Foto banner: metamorworks/shutterstock.com