Bahlil: Biaya produksi listrik dari gas lebih mahal Rp 5 triliun per GW per tahun dibanding batu bara

Jakarta – Biaya produksi listrik dari pembangkit berbasis gas alam tercatat jauh lebih tinggi dibandingkan dengan batu bara. Perbedaan biaya ini mencapai Rp5 triliun per gigawatt (GW) per tahun, menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia.

Dalam paparannya pada Indonesia Economic Summit di Jakarta, Rabu, 19 Februari, Bahlil menjelaskan bahwa rencana transisi energi nasional harus mempertimbangkan aspek biaya agar tidak membebani industri dan masyarakat. Ia menyoroti bahwa peralihan dari batu bara ke gas sebagai sumber energi utama berpotensi menambah beban ekonomi negara secara signifikan.

“Kalau kita membangun 10 GW pembangkit listrik tenaga gas sampai tahun 2029, maka selisih biaya yang harus ditanggung bisa mencapai Rp50 triliun per tahun. Dan jika rencana pembangunan mencapai 21 GW hingga tahun 2034, total tambahan biaya bisa mencapai Rp500 triliun,” ujar Bahlil.

Menurutnya, besarnya selisih biaya ini menyisakan dua pilihan utama: menaikkan tarif listrik atau menambah subsidi energi dari anggaran negara. Namun, opsi subsidi dikhawatirkan akan membebani keuangan negara dalam jangka panjang.

Selain itu, Bahlil menyoroti keterbatasan pasokan gas dalam negeri. Untuk memenuhi kebutuhan listrik dari pembangkit berbasis gas sebesar 10 GW, Indonesia memerlukan sekitar 250 kargo gas alam cair (LNG) per tahun. Angka ini hampir setara dengan total produksi gas nasional saat ini.

“Kalau semua gas kita dialokasikan untuk pembangkit listrik, bagaimana dengan industri lain yang juga membutuhkan gas? Ini menjadi dilema yang luar biasa,” tegasnya.

Lebih lanjut, ia menyinggung bahwa banyak negara besar seperti China dan India masih mengandalkan batu bara sebagai sumber energi utama. Kedua negara tersebut menggunakan strategi blending, yaitu mencampur batu bara dengan energi terbarukan untuk menekan emisi karbon tanpa harus meninggalkan batu bara sepenuhnya.

Bahlil pun mengusulkan pendekatan serupa untuk Indonesia. Menurutnya, dengan menerapkan teknologi penangkap dan penyimpanan karbon (Carbon Capture and Storage/CCS) di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, Indonesia dapat tetap menggunakan batu bara tanpa meningkatkan emisi secara signifikan.

“Saya sudah menyampaikan kepada Presiden Prabowo Subianto, bahwa kita masih punya cadangan batu bara yang melimpah. Daripada mengikuti arahan negara-negara maju yang punya kepentingan sendiri, lebih baik kita mencari solusi sendiri yang lebih sesuai dengan kondisi Indonesia,” ungkapnya.

Strategi ini, kata Bahlil, tidak hanya menjaga stabilitas harga listrik, tetapi juga memastikan daya saing industri nasional tetap terjaga. Ia menegaskan bahwa keseimbangan antara transisi energi dan pertumbuhan ekonomi harus tetap diperhatikan.

“Kita tidak bisa buru-buru meninggalkan batu bara tanpa perhitungan matang. Yang penting adalah bagaimana kita mengelola transisi ini dengan bijak dan tetap menjaga keberlanjutan ekonomi,” pungkasnya. (Hartatik)

Foto banner: PLN/handout

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles