Bahan bakar fosil masih dominasi kemitraan energi Indonesia-Jepang AZEC: laporan

Jakarta – Hasil kajian Zero Carbon Analytics menunjukkan bahwa kemitraan Indonesia dan Jepang dalam Asia Zero Emission Community (AZEC) masih didominasi proyek energi fosil.

Data dari laporan Zero Carbon Analytics menunjukkan bahwa sejak peluncuran AZEC pada Maret 2023, telah ada 158 Nota Kesepahaman (MoU) yang ditandatangani Jepang dengan berbagai negara di Asia, termasuk Indonesia yang terbanyak menandatangani dengan 43% dari total kesepakatan tersebut, disusul Thailand (15%) dan Malaysia (11%).

Namun, dari 68 MoU yang diteken Indonesia, hanya 15 yang terkait dengan teknologi energi terbarukan, sementara 27 MoU lainnya terkait dengan bahan bakar fosil, seperti gas alam cair (LNG) dan teknologi penangkapan karbon (CCS/CCUS). Sisanya 9 MoU terkait biomassa, 2 MoU tentang pasar karbon, dan 15 MoU lainnya.

Laporan Zero Carbon Analytics, dalam briefing yang diluncurkan 4 Oktober, mencatat bahwa teknologi berbasis fosil yang diperkenalkan, seperti co-firing amonia dan CCS, meskipun mengurangi emisi, tetap menghasilkan emisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan energi bersih murni seperti angin atau surya. Menurut mereka, mengandalkan teknologi ini dapat memperlambat proses dekarbonisasi dan menambah biaya.

Di sisi lain, Indonesia memiliki banyak potensi energi terbarukan yang belum dimanfaatkan secara optimal. Managing Director dari Energy Shift Institute, Putra Adhiguna, mengatakan bahwa fokus pada energi fosil dapat menghambat transisi energi yang sejati.

“Proyek seperti ini, meskipun dianggap rendah emisi, tetap memanjangkan usia bahan bakar fosil dalam sistem energi kita. Padahal, dengan beralih ke energi terbarukan, Indonesia dapat lebih cepat mencapai target net zero emission pada 2060,” jelas Putra.

Laporan dari Zero Carbon Analytics menyatakan bahwa “emisi siklus hidup dari teknologi bahan bakar fosil lebih tinggi daripada solusi bersih seperti angin atau matahari. Biaya proyek untuk melengkapi pembangkit listrik tenaga batu bara/gas dengan amonia dan/atau CCS akan segera lebih tinggi daripada tenaga surya dan angin. Negara-negara AZEC yang sedang berkembang berisiko memperdalam ketergantungan pada batu bara atau ketergantungan pada LNG dengan biaya tinggi dengan mengadopsi teknologi-teknologi yang baru muncul ini.”

Bhima Yudhistira, Direktur Center for Economic and Law Studies (CELIOS), menegaskan bahwa CCS bukan solusi utama untuk mencapai dekarbonisasi. “Teknologi CCS ini sangat mahal dan tingkat keberhasilannya belum sesuai dengan yang dijanjikan. Selain itu, CCS memungkinkan penggunaan bahan bakar fosil terus berlanjut, yang justru bisa memperbesar beban utang negara-negara berkembang akibat biaya teknologi ini,” ungkap Bhima.

Selain CCS, penggunaan biomassa sebagai bahan bakar juga menuai kritik. Zero Carbon Analytics mencatat bahwa pembakaran biomassa kayu menghasilkan emisi karbon 30% lebih banyak daripada batu bara, yang dapat mendorong deforestasi. Hikmat Soeriatanuwijaya dari Oil Change International menegaskan bahwa fokus pada teknologi fosil dan biomassa berisiko memperpanjang ketergantungan pada energi kotor.

“Inisiatif ini lebih berfokus pada keuntungan jangka pendek perusahaan Jepang, tetapi mengorbankan masa depan iklim dan sosial di Indonesia. Kita butuh transisi energi yang berbasis keadilan sosial dan lingkungan, bukan yang mementingkan kepentingan korporasi saja,” tegas Hikmat. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles