Ancaman ganda perubahan iklim di Indonesia: hilangnya keanekaragaman hayati dan terpuruknya ekonomi

Jakarta – Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Alue Dohong, menyatakan bahwa perubahan iklim telah menjadi ancaman serius yang berdampak ganda bagi Indonesia. Menurutnya, tidak hanya mengancam keanekaragaman hayati, perubahan iklim juga memperburuk kondisi ekonomi.

Dalam International Tourism Investment Forum (ITIF) 2024, Alue mengatakan bahwa krisis iklim memerlukan perhatian dari semua pihak, bukan hanya pemerintah.

“Krisis iklim memengaruhi segala aspek kehidupan, mulai dari bencana banjir, kekeringan, panas ekstrem, hingga ketersediaan air dan pangan, serta munculnya berbagai penyakit,” ungkapnya dalam forum yang disiarkan melalui YouTube Kemenparekraf, Jumat, 7 Juni.

Alue Dohong menekankan bahwa polusi telah menjadi ancaman serius, lanataran merambah ke medium air, tanah, dan udara, serta mencemari bahan kimia sintetik dan plastik yang masuk dalam rantai makanan.

“Polusi berdampak pada ekosistem, pengasaman laut, penipisan ozon, dan masalah keanekaragaman hayati. Setidaknya 9 juta kematian dini terjadi akibat penyakit terkait polusi, dengan 80 persen populasi perkotaan terpapar udara polusi,” jelas Alue Dohong.

Dalam paparannya, Alue juga menggarisbawahi pentingnya keanekaragaman hayati bagi ekonomi Indonesia. “Saya selalu bicara masa depan Indonesia, visi baru biodiversity sebagai tulang punggung bio ekonomi kita ke depan,” sebutnya.

Indonesia, yang memiliki keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia setelah Brasil, berisiko kehilangan kekayaan flora dan fauna serta potensi hutan akibat pengelolaan lingkungan yang buruk, polusi, dan perubahan iklim.

“Jika tidak dijaga maka bio ekonomi Indonesia ikut terancam dan kita kehilangan potensi ekonomi Indonesia ke depan,” terang Alue.

Dia menambahkan bahwa krisis yang dihadapi keanekaragaman hayati akan berdampak besar bagi umat manusia. “Kematian akibat cuaca ekstrem lima kali lipat dalam 50 tahun terakhir, dan setiap tahunnya 21,5 juta orang mengungsi karena bencana,” tambahnya.

Laporan dari penyedia asuransi global pada 2021 memperkirakan bahwa perubahan iklim dapat memangkas ekonomi dunia sekitar 23 triliun dolar AS pada 2050. Negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Prancis diperkirakan akan kehilangan 6–10 persen dari output ekonominya, sementara negara berkembang seperti Malaysia dan Thailand bisa mengalami penurunan ekonomi hingga 20 persen dibandingkan target 2050.

Untuk mengatasi krisis ini, Indonesia telah meningkatkan komitmen mitigasi iklim menjadi 31,89 persen atau ekuivalen dengan pengurangan 915 juta ton CO2 pada 2030 dengan upaya sendiri. “Indonesia juga memiliki strategi jangka panjang menggunakan skenario optimis low carbon, dengan target mencapai net zero emission pada 2060,” tutup Alue. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles