Analis: Inkonsistensi pemerintah hambat pensiun dini PLTU batu bara

Jakarta – Meski instrumen legal dan pendanaan untuk pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara telah tersedia, para analis menilai bahwa kurangnya kemauan politik di tingkat pemerintahan dinilai menjadi penghambat utama percepatan transisi energi.

Dalam diskusi bersama media pada Jumat, 7 Februari, Muhamad Saleh, Peneliti Hukum di Center of Economic and Law Studies (CELIOS), menegaskan bahwa amanat dalam Peraturan Presiden No 112 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan sebenarnya sudah memberikan dasar legal yang kuat untuk segera menerbitkan peta jalan pensiun dini PLTU.

Pembicara dalam diskusi tersebut menilai bahwa pemerintah harus segera mengeluarkan peta jalan pensiun dini PLTU sesuai amanah Perpres No. 112 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, namun realisasinya masih tertahan.

“Perpres 112 sudah seharusnya mendorong Kementerian ESDM mengeluarkan peta jalan pensiun dini PLTU. Instrumen hukumnya ada, tinggal yang diperlukan adalah komitmen untuk menindaklanjutinya,” ujar Saleh.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan (SUSTAIN), Tata Mustasya menyoroti bahwa pemerintah memiliki opsi pembiayaan inovatif, misalnya melalui peningkatan pungutan terhadap produksi batubara, yang dapat dialokasikan khusus untuk mendanai transisi energi.

“Dengan menaikkan pungutan produksi batubara, kita bisa mendapatkan tambahan penerimaan yang signifikan. Dana tersebut bisa digunakan untuk mendanai pensiun dini PLTU, pembangunan jaringan transmisi, dan pengembangan energi terbarukan. Ini merupakan disinsentif yang akan memaksa industri batubara untuk mengurangi produksinya,” jelas Tata.

Menurutnya, peningkatan pungutan itu berpotensi mencapai angka yang cukup besar, sehingga tidak perlu menunggu hibah atau dana dari luar negeri.

Di sisi lain, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia baru-baru ini mengakui bahwa dana untuk mempensiunkan PLTU memerlukan investasi besar. Namun, Bahlil menyatakan bahwa prioritas pendanaan saat ini dialokasikan untuk program-program lain, sehingga pemerintah mengundang lembaga nasional maupun internasional untuk mendukung transisi tersebut.

“Kami tetap membuka peluang untuk mempensiunkan PLTU lebih awal asalkan tidak merugikan negara. Jika ada pendanaan dengan bunga rendah atau dukungan dari investor, tentu kami pertimbangkan. Tapi saat ini, ada banyak prioritas lain yang harus ditangani,” ujar Bahlil.

Kendati demikian, para ahli berpendapat bahwa ketidakkonsistenan ini justru menghambat percepatan transisi energi nasional. Mereka menilai bahwa pendanaan dari peningkatan pungutan produksi batubara sudah seharusnya diprioritaskan untuk mendukung transisi menuju energi bersih.

“Jangan biarkan ketidakpastian kebijakan membuat kita kehilangan momentum dalam menurunkan emisi dan mengurangi subsidi energi fosil. Kebijakan pensiun dini PLTU harus segera diimplementasikan dengan sumber pendanaan yang ada, bukan terus bergantung pada dana dari luar,” tegas Tata.

Para pengamat juga menyoroti bahwa kebijakan ini bukan hanya soal pengurangan emisi, tetapi juga berkaitan dengan peningkatan kualitas kesehatan dan penghematan anggaran subsidi yang selama ini sangat besar akibat operasional PLTU batu bara.

Dengan adanya instrumen hukum yang sudah jelas dan potensi pendanaan melalui pungutan batubara, para ahli berharap pemerintah segera menunjukkan kemauan politik yang konsisten untuk mendorong pensiun dini PLTU. Langkah ini dianggap sangat krusial agar Indonesia dapat mempercepat transisi ke energi terbarukan dan mencapai target Net Zero Emission yang telah ditetapkan. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles