
Jakarta – Krisis iklim dan pencemaran udara seringkali dianggap dua isu berbeda. Namun ternyata keduanya memiliki banyak korelasi. Pelepasan emisi gas kaca ke udara, selalu dibarengi oleh emisi polutan lokal.
Demikian disampaikan CEO Landscape Indonesia Agus P Sari dalam Webinar Kolaborasi Nafas dan Bicara Udara bertajuk ‘Perubahan Iklim dan Kualitas Udara’, Rabu (28/4). “Debu yang ikut tidak hanya PM10 tapi juga yang berukuran 2,5 mikron atau PM2,5,” katanya mengacu pada partikel polusi atau Particulate Matter (PM) yang berdiameter 10 mikrometer atau lebih kecil dan dapat dihirup manusia.
“Dengan demikian menurunkan emisi gas rumah kaca sebetulnya sama dengan menurunkan emisi polutan lokal. Semakin serius kita menurunkan emisi gas rumah kaca, maka makin bersih udara kita,” ujar Agus.
Dicontohkannya pula, ketika gas karbondioksida (CO2) dikeluarkan dari knalpot, gas karbonmonoksida (CO) akan selalu ikut. Begitu pun dengan NOx yang terdiri atas gas nitrik (NO) dan nitrogen dioksida (NO2), ozon permukaan dan debu selalu ikut.
Dalam Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), lanjut Agus, tanda bahaya sudah diserukan. Banyak orang pun berargumen bahwa manusia akan beradaptasi dengan perubahan tersebut. Tapi IPCC menemukan bahwa kecepatan perubahan ekosistem dunia akibat pemanasan global lebih cepat dari kemampuan manusia untuk beradaptasi.
“Dalam laporan tiga IPCC ada good newsnya, bahwa bahwa kita sebetulnya sudah punya cara untuk memitigasinya, tapi kesempatannya sempit sehingga kita harus melakukannya sekaarang,” tukasnya.
Agus yang masuk dalam tim pengkaji IPCC mengingatkan, bahwa dampak bencana iklim makin dapat dirasakan. Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) bagian dari Laporan Peninjauan Keenam (AR6) oleh Working Group III IPCC berjudul “Mitigasi Perubahan Iklim” baru saja diluncurkan bulan April 2022. Laporan ini menunjukkan bahwa bumi berada pada fast track menuju bencana iklim. Laporan tersebut mencakup mitigasi yang harus dilakukan untuk mengurangi laju kenaikan suhu global yang akan membawa dunia ke pemanasan 2,7ºC. Hal ini dianggap akan sangat mengancam banyak hal dengan intensitas yang tinggi, terutama di wilayah rentan bencana seperti Indonesia. Dampak ini tentunya akan mengancam masa depan generasi mendatang Indonesia. (Hartatik)