Jakarta – Pengembangan energi panas bumi di Indonesia semakin disorot sebagai elemen penting dalam mencapai target emisi nol bersih dan memperkuat ketahanan energi nasional. Meskipun potensi panas bumi Indonesia sangat besar, dengan cadangan sekitar 23 gigawatt (GW), pemanfaatan energi ini ternyata masih jauh dari optimal, hanya mencapai sekitar 10,3% dari total kapasitas yang tersedia.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eddy Soeparno, menekankan bahwa percepatan pengembangan energi panas bumi sangat mendesak, tidak hanya untuk memenuhi komitmen pengurangan emisi, tetapi juga untuk memastikan ketahanan energi yang berkelanjutan bagi Indonesia.
“Akselerasi pengembangan panas bumi sangat penting, tidak hanya untuk mencapai target emisi, tetapi juga untuk ketahanan energi nasional,” ujar Eddy pada sebuah webinar bertajuk “Peran Penting Industri Panas Bumi dalam Kebijakan Transisi, Ketahanan Energi, dan Ekonomi Nasional” pada Kamis, 29 Agustus.
Namun, sektor panas bumi di Indonesia menghadapi berbagai tantangan, terutama terkait dengan biaya investasi awal yang tinggi dan risiko eksplorasi yang signifikan. Direktur Eksekutif Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Yudha Permana Jayadikarta, menyatakan bahwa salah satu hambatan terbesar adalah tahap eksplorasi yang membutuhkan biaya besar dan memiliki risiko tinggi.
“Percepatan program ‘Government Drilling’ sangat penting untuk mengurangi risiko di sektor hulu,” ungkap Yudha.
Penurunan investasi di sektor panas bumi dalam beberapa tahun terakhir menjadi indikator bahwa kerangka regulasi yang ada belum optimal. Pada tahun 2018, investasi di sektor ini mencapai USD 1,18 miliar, namun turun menjadi sekitar USD 740 juta pada 2023.
Eddy Soeparno menekankan perlunya revisi kebijakan untuk memberikan kepastian dan daya tarik lebih bagi investor. Ia juga menyatakan komitmen Komisi VII DPR RI untuk segera menyelesaikan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBET) dan revisi kedua UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.
“Kita harus memastikan regulasi yang ada mendukung dan mendorong pengembangan energi panas bumi,” tambahnya.
Sementara itu, Anggota Dewan Energi Nasional, Dina Nurul Fitria, mengungkapkan bahwa target kapasitas terpasang Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) adalah 7,2 GW pada tahun 2025. Namun, hingga Juni 2024, kapasitas yang tercapai baru sekitar 2,4 GW. Dina menyoroti perlunya terobosan kebijakan seperti Geothermal Exploration & Energy Conversion Agreement (GEECA) untuk mendorong pencapaian target tersebut.
“Penyesuaian tarif dan insentif fiskal akan membantu mendorong pengembangan panas bumi,” jelas Dina.
Pengalaman dari negara lain menunjukkan bahwa kebijakan yang proaktif dan komprehensif dapat menjadi pendorong utama dalam pengembangan energi panas bumi. Filipina, misalnya, telah berhasil mengimplementasikan kebijakan yang mendukung investasi melalui insentif fiskal, pengurangan pajak, dan penghapusan bea impor, yang telah mendorong perkembangan industri panas bumi mereka secara signifikan.
Pada kesempatan sama, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, mencatat bahwa dukungan kebijakan pemerintah sangat penting untuk menutupi keterbatasan fleksibilitas lokasi pembangunan PLTP dan biaya investasi yang tinggi.
“Pengalaman negara-negara seperti Filipina, Islandia, dan Selandia Baru menunjukkan bahwa kebijakan yang tepat dapat menjadi katalisator dalam pengembangan energi terbarukan,” jelas Komaidi.
Di Indonesia, persepsi negatif masyarakat terhadap pengembangan panas bumi sebagai aktivitas yang merusak lingkungan masih menjadi tantangan. Dina Nurul Fitria menekankan pentingnya edukasi publik untuk mengubah persepsi ini.
“Kita harus menunjukkan bahwa panas bumi adalah solusi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan,” tegasnya.
Kesimpulannya, percepatan pengembangan energi panas bumi di Indonesia memerlukan komitmen bersama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Dukungan kebijakan yang kuat, insentif fiskal, serta edukasi publik adalah kunci utama untuk mencapai ketahanan energi dan keberlanjutan lingkungan di masa depan.
Eddy Soeparno menegaskan bahwa dengan potensi yang dimiliki, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pemimpin dalam transisi energi bersih di kawasan Asia.
“Indonesia harus mengambil langkah nyata dalam mempercepat pengembangan energi panas bumi untuk memastikan masa depan yang berkelanjutan,” tutupnya. (Hartatik)