Jakarta – Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dan transisi menuju energi terbarukan, termasuk regulasi yang tidak konsisten yang akan memperlambat perkembangan sektor energi terbarukan, menurut akademisi Universitas Indonesia.
Para pakar dan pelaku industri menilai bahwa perubahan kebijakan yang sering terjadi dan kurangnya kepastian hukum telah menghambat investasi di sektor energi bersih. Pada acara “Environmental Night”, Jumat, 18 Oktober, Yuki MA Wardhana, staf pengajar Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia (SIL UI), menekankan pentingnya stabilitas regulasi dalam transisi energi.
“Transisi ke energi terbarukan adalah hal mendesak, tetapi tanpa kebijakan yang jelas dan konsisten, kita justru akan menghadapi ketidakpastian yang memperlambat kemajuan sektor ini,” ujarnya.
Menurut Yuki, ketidakpastian regulasi terutama terlihat dalam implementasi pajak karbon dan kebijakan penghentian dini pembangkit listrik berbasis batu bara. Sementara itu, Perpres No. 112/2022 yang menetapkan bauran energi terbarukan dinilai belum memberikan arah yang jelas bagi investor.
“Kita perlu lebih banyak insentif bagi sektor swasta untuk berinvestasi di energi terbarukan, serta kepastian hukum yang membuat mereka merasa aman berinvestasi di sini,” tambahnya.
Data dari laporan Global Risk Report 2024 yang dirilis oleh World Economic Forum juga menunjukkan bahwa 74% portofolio pinjaman di sistem perbankan Indonesia terkait dengan sektor-sektor yang berpotensi terkena risiko transisi iklim. Di antara sektor-sektor ini, pembangkit listrik berbasis batu bara menjadi yang paling rentan terhadap kebijakan penghentian dini, yang merupakan bagian dari rencana pemerintah untuk mencapai target Net Zero Emission pada 2060.
“Kebijakan penghentian dini pembangkit listrik batu bara memang diperlukan untuk mempercepat transisi energi. Namun, jika kebijakan ini tidak didukung oleh regulasi yang jelas dan pendanaan yang memadai, kita justru akan menghadapi risiko ketidakstabilan ekonomi,” kata Yuki.
Koordinator Keteknikan dan Keselamatan Lingkungan Minyak dan Gas Bumi, Kementerian ESDM, Kusnandar mengakui bahwa sektor energi fosil tetap diperlukan dalam transisi energi. “Gas alam, misalnya, akan berperan sebagai energi peralihan sebelum energi terbarukan dapat sepenuhnya memenuhi kebutuhan energi nasional,” ujarnya.
Namun, ia menambahkan bahwa implementasi teknologi rendah karbon seperti Carbon Capture Storage (CCS) yang diatur melalui Perpres Nomor 14 Tahun 2024 perlu diperkuat untuk mendukung transisi ini.
Di sektor pertambangan, regulasi yang tidak konsisten juga mempengaruhi upaya penurunan emisi. Direktur Teknik dan Lingkungan Ditjen Minerba, Hendra Gunawan, menyebutkan bahwa pihaknya sedang mengumpulkan data terkait reklamasi pasca tambang untuk memastikan pelaku usaha mematuhi kewajiban pemulihan lingkungan.
“Kami ingin memastikan bahwa pertambangan di Indonesia mendukung target penurunan emisi dengan praktik berkelanjutan,” katanya.
Meski regulasi terkait energi terbarukan telah dikeluarkan, implementasinya di lapangan dinilai masih jauh dari harapan. Proses birokrasi yang berbelit, kurangnya insentif fiskal, serta perubahan kebijakan yang kerap terjadi membuat pelaku usaha enggan berinvestasi dalam proyek energi terbarukan. Menurut Yuki, dibutuhkan sinergi yang lebih baik antara sektor publik dan swasta untuk mengatasi masalah ini.
“Tanpa sinergi yang kuat, baik dari pemerintah, dunia usaha, dan lembaga pendidikan, kita akan kesulitan mencapai target Net Zero Emission. Pendekatan mitigasi risiko yang komprehensif harus diterapkan untuk menjaga stabilitas ekonomi selama proses transisi,” tutup Yuki.
Dengan semakin meningkatnya kebutuhan akan energi bersih, regulasi yang jelas dan konsisten akan menjadi kunci untuk mendorong pertumbuhan energi terbarukan di Indonesia. (Hartatik)