Jakarta – Para pengamat menilai bahwa transisi energi terbarukan dinilai sebagai salah satu elemen penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto yang diharapkan segera menerbitkan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (UU EBT).
Langkah ini dinilai krusial untuk menarik investasi berkualitas dalam sektor energi bersih dan mencapai target pertumbuhan ekonomi yang ambisius, yakni sebesar 8 persen, serta menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan daya saing Indonesia di panggung global.
Managing Director Energy Shift Institute, Putra Adhiguna, menjelaskan bahwa Indonesia perlu merespon perubahan tren energi global yang sudah digerakkan oleh negara-negara besar seperti China dan India. Keduanya gencar mengembangkan listrik dari sumber energi terbarukan, sebuah langkah yang dianggap esensial untuk menarik investor multinasional.
“Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kita membutuhkan perusahaan-perusahaan besar yang hanya mau berinvestasi jika ada energi bersih. Jadi, ini bukan lagi soal tren barat, tetapi daya saing ekonomi,” ujar Putra dalam sebuah diskusi yang digelar Yayasan Indonesia CERAH bertajuk “Meneropong Arah Transisi Energi era Prabowo-Gibran”.
Menurutnya transisi energi bukan hanya soal mengganti sumber energi, melainkan juga soal mengundang investasi berkualitas yang diharapkan dapat memberikan dampak ekonomi jangka panjang. “Perusahaan multinasional besar seperti Tesla dan Samsung memiliki target energi hijau. Jika Indonesia tidak menyediakan sumber energi ini, maka kita bisa tertinggal dalam persaingan investasi,” lanjutnya.
Kepastian hukum
Putra menekankan bahwa keberadaan UU EBT dapat memberikan kepastian hukum yang dibutuhkan oleh investor, menghindarkan Indonesia dari risiko oversupply atau beban finansial akibat kesalahan perencanaan. Kasus oversupply listrik oleh PLN beberapa tahun lalu disebutnya sebagai contoh perencanaan yang kurang hati-hati, yang akhirnya merugikan negara hingga triliunan rupiah.
“Kalau kita tidak hati-hati, kita bisa menciptakan liability 30 tahun ke depan, bukan hanya persoalan ekonomi sekarang,” tegas Putra, yang menambahkan bahwa Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang bertanggung jawab dan regulasi yang jelas akan menjadi landasan penting untuk membangun sektor energi yang berkelanjutan.
Selain regulasi terkait EBT, reformasi subsidi energi juga disebut sebagai hal penting yang perlu segera dilakukan. Anissa Suharsono, Energy Policy Associate di International Institute for Sustainable Development (IISD), mengatakan bahwa subsidi energi selama ini menguras anggaran negara, sementara dampaknya tidak sepenuhnya tepat sasaran. Ia mencontohkan bahwa pada periode 2022-2023, subsidi dan kompensasi energi menghabiskan sekitar Rp 365 triliun-Rp 385 triliun, sebagian besar untuk bahan bakar fosil. “Subsidi energi fosil ini sebagian besar menguntungkan kelompok masyarakat yang kaya, sementara kelompok rentan masih sulit mengakses energi,” papar Anissa.
Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia CERAH, Agung Budiono, menambahkan bahwa Indonesia perlu segera mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan mempercepat transisi ke energi terbarukan untuk mencapai kemandirian energi. “Selama kita masih mengandalkan energi fosil, kita tidak akan pernah swasembada energi. Kita sudah mengimpor hampir semua jenis bahan bakar fosil, dan ini bisa menjadi masalah besar di masa depan,” jelas Agung.
Agung menjelaskan bahwa dengan semakin menipisnya cadangan fosil, Indonesia akan menghadapi risiko peningkatan impor energi jika tidak segera mengembangkan sumber energi terbarukan.
Dengan kepastian hukum melalui UU EBT dan subsidi energi yang lebih tepat sasaran, diharapkan investasi dalam sektor energi bersih dapat meningkat dan membawa Indonesia lebih dekat ke arah kemandirian energi. (Hartatik)