Pakar UGM: Pemerintah harus perjelas komitmen agar capai target transisi energi

Jakarta – Dr Fahmy Radhi MBA, pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) mengatakan bahwa salah satu penyebab tidak tercapainya target energi baru-terbarukan (EBT) adalah “kebijakan transisi energi yang setengah hati”.

“Kebijakan tersebut cenderung kontradiktif dengan upaya percepatan transisi energi, seperti masih adanya toleransi terhadap pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara,” ungkapnya dalam keterangan resmi, Selasa, 14 Mei.

Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, bauran EBT masih jauh dari target yang ditetapkan, Indonesia berada di ambang kegagalan mencapai target transisi energi yang ditetapkan Presiden Joko Widodo.

Target bauran EBT sebesar 23 persen pada 2025 tidak tercapai, dengan realisasi pada 2023 hanya mencapai 12,8 persen. Bahkan, Pemerintah justru menurunkan target EBT menjadi 17 persen pada 2025, menambah keraguan terhadap komitmen nyata dalam mencapai tujuan tersebut.

Sampai akhir 2020, bauran energi primer untuk Pembangkit Listrik PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) masih didominasi oleh batu bara sebesar 57,22 persen. Sementara EBT hanya mencapai 12,15 persen. Upaya untuk mempercepat transisi energi tampaknya juga terkendala oleh kegagalan program-program besar, seperti proyek bio-diesel dan gasifikasi batu bara yang dijalankan oleh PT Pertamina.

Meski demikian, terdapat beberapa keberhasilan dalam pengembangan EBT, terutama yang dilakukan oleh PLN. PLN telah berhasil menyelesaikan 28 pembangkit EBT baru, serta melakukan program dedieselisasi dengan membangun jaringan transmisi dan distribusi, bahkan hingga pengembangan hidrogen hijau pada tahun 2023.

Salah satu proyek yang menjadi sorotan adalah Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terapung Cirata dengan kapasitas 192 megawatt peak (MWp). Namun, upaya untuk pensiun dini PLTU batu bara masih menghadapi hambatan seperti kesulitan dalam penyediaan dana dan teknologi.

Menyikapi situasi ini, Dr. Fahmy Radhi mendesak Presiden terpilih, Prabowo Subianto, untuk melakukan perombakan dalam kebijakan transisi energi yang dianggap setengah hati. Salah satunya adalah dengan mewajibkan pengolahan batu bara, yang merupakan sumber energi kotor, menjadi energi bersih. Selain itu, pemerintah juga diharapkan memberikan kemudahan dan insentif bagi investor dalam pengembangan EBT di Indonesia.

Tanpa perubahan mendasar dalam kebijakan tersebut, para ahli memperingatkan bahwa target zero carbon pada 2060 akan sulit dicapai. Mereka menegaskan perlunya langkah-langkah konkret dan komitmen yang kuat dari pemerintah untuk mencapai tujuan transisi energi yang berkelanjutan. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles