Jakarta – Orang muda di Indonesia berencana untuk menggelar aksi serentak di berbagai kota di Indonesia untuk mendesak para bakal calon presiden agar memiliki komitmen serius terhadap penanganan krisis iklim dan transisi energi. Gerakan berbagai organisasi pemuda ini adalah Power Up, bagian dari gerakan masyarakat sipil internasional yang mendorong elite politik untuk meninggalkan energi fosil dan beralih ke energi terbarukan berbasis komunitas.
Didorong oleh keprihatinan atas kurangnya komitmen dari para bakal calon presiden terkait penanganan krisis iklim dan transisi energi, para pemuda merasa bahwa elite politik lebih memikirkan kepentingan pribadi daripada kepentingan rakyat.
Koordinator Climate Rangers Jakarta, Ginanjar Ariyasuta mengungkapkan, tidak ada satupun bakal calon presiden yang memiliki komitmen kuat terhadap penanganan krisis iklim dan transisi energi.
“Orang muda mulai muak dengan tingkah laku elite yang berbicara tentang kepentingan mereka sendiri, namun tercerabut dari akar persoalan rakyat,” ungkapnya dalam media briefing tentang ‘Gerakan Power Up Indonesia: Orang Muda Menagih Komitmen Iklim Calon Presiden’, Kamis, 19 Oktober.
Gerakan Power Up ini, menurut Ginanjar, merupakan bagian dari gerakan masyarakat sipil internasional yang mendesak elite politik membuat kebijakan serius meninggalkan energi fosil dan beralih ke energi terbarukan berbasis komunitas.
Keengganan elite politik dalam berkomitmen secara lebih serius terhadap penanganan krisis iklim dan transisi energi ini terkait erat dengan aliran dana kampanye dari industri fosil (migas dan batu bara).
Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, konflik kepentingan yang menghasilkan kebijakan penghambat transisi energi bermula dari belum transparannya dana kampanye para kandidat pemilu.
“Hasil studi CELIOS menunjukkan sebanyak 89% pemilih berusia muda menginginkan adanya percepatan penutupan PLTU batubara, dan sebanyak 60% menginginkan agar energi terbarukan semakin mendominasi dalam bauran energi nasional,” ungkap Bhima.
Menurutnya desakan-desakan ini seringkali diabaikan, bahkan dana-dana gelap energi kotor sebagian sulit dilacak. Alhasil pemilih muda seringkali hanya dijadikan target suara, sementara tidak diakomodir aspirasinya dalam bentuk program aksi yang nyata oleh para kandidat elektoral.
Pada kesempatan sama, Ketua BEM Universitas Indonesia (UI), Melki Sedek Huang mengatakan, suara generasi muda akan menjadi sangat signifikan, terlebih di Pemilu 2024 nanti. “Terpantau kira-kira 52% dari total suara yang menentukan nantinya adalah milik orang muda. Jadi seharusnya Pemilu 2024 menjadi gerbang terwujudnya mimpi dari suara-suara yang menentukan, termasuk pun tentang aspek lingkungan hidup.,” kata Melki.
Co-Inisiator Bijak Memilih, Andhyta Firselly Utami menambahkan pentingnya memiliki kerangka yang tepat dalam menilai dan memilih partai maupun calon presiden yang akan mendorong kebijakan sesuai harapan bersama.
“Sebagai seseorang yang sudah bekerja di isu ekonomi dan lingkungan dalam 10 tahun terakhir, saya melihat bahwa kita memasuki momentum baru, di mana diskusinya sudah harus naik kelas dari apakah perlu mengambil langkah serius menjadi bagaimana mendesain solusi yang tepat dan sesuai untuk menyelesaikan tantangan ini dalam konteks Indonesia,” imbuh Andhyta. (Hartatik)
Foto banner: Pemilu di Aceh, 17 April 2019. herims/shutterstock.com