Porsi EBT global tumbuh signifikan, Indonesia masih rendah

Jakarta – Lembaga think tank global EMBER, merilis laporan berjudul “Global Electricity Review 2023” yang menyebutkan bahwa pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) bertenaga surya secara global tumbuh hingga 24 persen atau setara penambahan 245 terawatt hour (TWh) pada 2022. Sementara tenaga angin naik 17 persen atau 312 TWh.

Kenaikan pembangkit tersebut juga membatasi pertumbuhan tenaga batubara menjadi hanya 1,1 persen atau setara 108 TWh. Di sisi lain, pembangkit berbahan bakar gas turun tipis 0,2 persen atau 12,3 TWh. Laporan tersebut juga mencatat porsi tenaga surya dan angin tumbuh hingga mencapai 12 persen dari total pasokan listrik dunia, naik dari 10 persen pada 2021. Dengan demikian, porsi energi terbarukan global naik menjadi 39 persen, mengungguli batubara yang sebesar 36 persen.

Małgorzata Wiatros-Motyka, penulis laporan EMBER Global Electricity Review 2023 mengatakan, kenaikan kapasitas pembangkit listrik surya dan angin tersebut mampu memenuhi 80 persen permintaan listrik global.

“Kita berada di dekade penentuan untuk masa depan iklim, dan ini adalah titik awal berakhirnya era bahan bakar fosil. Kita sedang menuju era energi bersih,” kata Małgorzata Wiatros-Motyka.

Menurut mereka, sektor energi sudah memasuki era baru penurunan emisi bahan bakar fosil di mana penghentian pembangkit listrik batubara sudah mulai terjadi dan berakhirnya listrik berbasis gas sudah di depan mata. Meski begitu, semuanya tergantung pada langkah yang diambil oleh pemerintah, bisnis, dan masyarakat hari ini untuk mengarahkan dunia ke listrik bersih pada 2040.

Mengacu model yang disusun International Energy Agency (IEA), sektor listrik harus bergeser dari sektor penghasil emisi tertinggi menjadi sektor yang pertama mencapai netral karbon pada 2040, untuk mencapai ekonomi netral karbon pada 2050. Hal ini berarti angin dan surya harus mencapai 41 persen dari total listrik global pada 2030.

Namun, kondisi ini belum terlihat di Indonesia. Menurut laporan tersebut, porsi tenaga angin dan surya di Indonesia masing-masing hanya 0,1 persen pada tahun 2021. Padahal, tercatat sudah ada 60 negara yang 10 persen dari total pembangkit listriknya ditenagai angin dan surya.

Pada tahun 2021, pertumbuhan tenaga surya di Indonesia yang mencapai 12 persen, hanya setara 0,02 TWh lantaran rendahnya pembangkit energi surya. Sementara tenaga angin justru turun 6,4 persen atau 0,03 TWh. Pada saat yang sama, pembangkit listrik dari batubara di Indonesia masih naik 5 persen (9,1 TWh) dan gas 9,7 persen (5 TWh).

“Meski kemajuan perkembangan energi terbarukan di Indonesia lambat dalam beberapa tahun terakhir, tapi dukungan internasional menyediakan pembiayaan yang dibutuhkan untuk mengakselerasi adopsi energi terbarukan dan menghentikan pembangkit listrik berbasis batubara di Indonesia,” ungkap Wiatros-Motyka.

Adapun dukungan internasional itu di antaranya Asian Development Bank Energy Transition Mechanism dan Just Energy Transition Partnership. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles