PLTU batubara captive berpotensi gagalkan target iklim Indonesia

Jakarta – PLTU batubara ‘captive’ menjadi celah untuk menggagalkan Indonesia mencapai target iklim menurut Global Energy Monitor dalam laporan survei tahunan kesembilan yang berjudul ‘Boom and Bust Coal 2023’. Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89 persen dengan kemampuan sendiri atau sebesar 43,20 persen dengan dukungan internasional.

Menurut laporan Global Energy Monitor, PLTU batubara captive atau pembangkit listrik “off-grid” secara eksklusif memasok listrik untuk industri. Flora Champenois, penulis utama laporan dan manajer proyek Global Energy Monitor’s Global Coal Plant Tracker menjelaskan bahwa pendekatan kebijakan transformasi hijau untuk dapat mengurangi emisi dapat menjadi bumerang. Pasalnya, proposal yang diajukan yaitu PLTU batubara bersama dengan bahan bakar lain seperti amonia dapat meningkatkan emisi dalam jangka panjang.

“Tidak hanya di Jepang tetapi di seluruh Asia Tenggara yang mendorong praktik tersebut. Teknologi yang belum teruji akan membuat Vietnam, Indonesia, dan Filipina tidak mungkin memenuhi target iklim, dan ini akan menjadi beban keuangan di pasar yang sensitif terhadap harga ini. Tidak ada ruang untuk tenaga batu bara baru atau memperpanjang umur pembangkit yang ada ketika dunia perlu menghentikan sekitar 117 gigawatt setiap tahunnya,” ungkap Flora.

Indonesia telah membatalkan rencana pembangunan PLTU batubara baru dengan kapasitas hampir 9 gigawatt (GW) pada tahun 2022. Sementara pada tahun yang sama, kapasitas operasi PLTU batubara Indonesia meningkat 9 persen dari 39,4 GW menjadi 40,6 GW, dan naik 60 persen dari 25,4 GW pada 2015. Semakin banyak proyek batubara baru yang beroperasi, artinya semakin banyak pula penyetopan PLTU yang dibutuhkan di masa depan.

Menurut Flora, pada level ini, transisi dari batu bara yang ada ke energi baru tidak terjadi cukup cepat untuk menghindari krisis iklim. IPCC dan PBB sama-sama memperbarui seruannya untuk menghentikan tenaga batu bara secara global dalam kesempatan terakhir untuk menghindari yang terburuk dari bahaya pemanasan bumi.

Di lain sisi, pengoperasian PLTU batubara captive tersebut dikhawatirkan akan menggerogoti dana transisi sebesar USD 20 miliar dari skema Just Energy Transition Partnerships (JETP).

Pemerintah Indonesia telah mengizinkan pengecualian untuk pembangkit listrik captive mengacu pada regulasi yang dikeluarkan pada September 2022, yaitu Perpres 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.

Laporan Global Energy Monitor juga menemukan bahwa Indonesia tercatat masih memiliki 18,8 GW PLTU batubara yang sedang dibangun. Jumlah ini melebihi semua negara lain kecuali China dan India. Selain itu, ada sekitar 7 GW PLTU batubara sedang dalam tahap prakonstruksi.

“Sekitar 13 GW (58 persen) dari kapasitas yang sedang dibangun dan dalam pra-konstruksi merupakan PLTU batubara captive untuk industri seperti smelter nikel dan kobalt, yang dikecualikan di bawah JETP. Ini artinya, Indonesia mungkin masih jauh dari penghentian PLTU batubara,” ungkap laporan Global Energy Monitor. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles