Analis kebijakan iklim: Pemerintah jangan gegabah bangun infrastruktur gas

Anna Chapman, analis iklim dan kebijakan energi Climate Analytics
Sumber: Kanal Youtube IESR

Jakarta –Sejumlah analis iklim asing, Senin (29/8), menyarankan pemerintah Indonesia agar tidak gegabah membangun infrastruktur gas, meski dengan alasan percepatan transisi energi. Menurut mereka penggunaan gas sebagai bahan bakar transisi energi akan tetap menjerat negara-negara di dunia dengan krisis energi yang sama.

Selain itu, risiko aset terbengkalai yang ditimbulkan akan menyulitkan pencapaian komitmen Persetujuan Paris yakni membatasi kenaikan suhu permukaan bumi di bawah 1,5 derajat Celcius. Hal itu mengemuka dalam webinar yang diselenggarakan oleh CASE dan C20.

Anna Chapman, analis iklim dan kebijakan energi Climate Analytics, memaparkan bahwa penghentian pengoperasian pembangkit listrik bertenaga gas harus segera terjadi paling lama 5 sampai 10 tahun setelah seluruh PLTU batubara dihentikan, baik di negara maju dan negara berkembang.

“Biaya energi terbarukan dan baterai menjadi lebih murah tiap tahunnya dan lebih minim emisi, dibandingkan gas sehingga keluar dari penggunaan bahan bakar gas menjadi mendesak dan penting,” jelasnya.

Ia juga menyampaikan bahwa komitmen yang kuat dari pemerintah serta dukungan finansial, teknis untuk bertransisi dari negara maju sangat diperlukan oleh negara berkembang. “Saling menopang untuk memenuhi target iklim bahkan juga sudah diatur dalam Persetujuan Paris,” tegas Anna.

Mia Moisio, analis kebijakan iklim dari New Climate Institute, menekankan agar pemerintah di tiap negara, termasuk di Indonesia mempertimbangkan jalan keluar yang tepat dari krisis energi dengan tidak secara gegabah membangun infrastruktur gas walaupun dengan alasan mempercepat transisi energi.

“Terburu-buru untuk membangun infrastruktur gas baru di seluruh dunia untuk menggantikan gas Rusia akan mengunci dunia ke dampak pemanasan global yang permanen. Kegagalan pemerintah untuk tetap mitigasi krisis iklim selama pemulihan Covid-19, agaknya akan kembali terulang dalam menghadapi kejutan energi global. Sementara, sebenarnya ada banyak pilihan yang kurang dimanfaatkan untuk lepas dari ketergantungan dari bahan bakar fosil,” bebernya.

Pemerintah dapat segera menghentikan pembangunan infrastruktur bahan bakar gas dan meningkatkan pengembangan energi terbarukan serta meningkatkan produksi hidrogen hijau. Selain itu, perubahan perilaku di masyarakat juga perlu didorong dengan memberikan insentif yang menarik bagi masyarakat yang mempunyai gaya hidup rendah karbon.

Raditya Wiranegara, peneliti senior Institute for Essential Services Reform (IESR), menyebutkan perubahan perilaku, seperti yang disebutkan di laporan yang ditulis oleh Mia ini akan mendorong pengguna energi untuk lebih memperhatikan konsumsi energinya, sehingga pasar yang terbentuk terisi oleh-oleh peralatan yang efisien dan rendah emisi. Hal ini menjadi penting mengingat beban APBN yang semakin tinggi di tingginya harga komoditas energi dunia.

Namun, menurutnya, pemerintah tetap perlu memainkan perannya dalam mendorong kebijakan yang ramah energi bersih. “Di sisi lain, pemerintah perlu melakukan refocusing dari APBN agar pengembangan proyek energi bersih mendapat porsi yang lebih tinggi dari sebelumnya. Alokasi ini dapat menjadi catalytic investation, yang jika dibarengi oleh regulasi yang tepat, dapat mendorong terbentuknya pasar yang dengan sendirinya akan berkembang,” ungkap Raditya. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles