
Jakarta – Reformasi subsidi energi dinilai masih belum tepat sasaran. Peneliti Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Yuventus Effendi mengungkapkan, reformasi subsidi energi tidak hanya mengatasi permasalahan penerima subsidi yang tidak tepat sasaran, namun juga di waktu normal, subsidi energi dapat dialokasikan kembali ke pengeluaran yang lebih produktif.
“Transformasi subsidi LPG tabung 3 kg misalnya, agar lebih tepat sasaran diintegrasikan dengan kartu sembako dan disertai juga penyesuaian harga jual eceran secara bertahap yang diselaraskan dengan kondisi perekonomian yang kondusif,” ujar Yuventus dikutip dari Diskusi Publik Indef 2022 : Krisis Energi dan Dampaknya Bagi Perekonomian Nasional, secara virtual, Sabtu (30/7).
Saat ini, menurutnya, subsidi energi lebih banyak dinikmati masyarakat kaya dibandingkan dengan masyarakat miskin. Selain itu, ada permasalahan terkait validitas masyarakat yang berhak menerima subsidi belum akurat. “Ini sangat penting ya, kalau kita mau memiliki subsidi energi yang tepat sasaran kita harus mempunyai data masyarakat yang valid,” imbuhnya.
Adapun target Keluarga Penerima Manfaat (KPM) adalah 40% penduduk pendapatan terendah. Kemudian target jenis pekerjaannya usaha mikro, nelayan kecil dan petani kecil. Dalam melakukan reformasi subsidi, Yuventus menilai ada tantangan yang dihadapi pemerintah yakni tingginya harga komoditas yang menyebabkan meningkatnya kebutuhan subsidi dan kompensasi energi. Selain itu, ada risiko contingent liabilities dalam subsidi energi, kebijakan penyesuaian harga belum dapat dilaksanakan sehingga muncul kompensasi sebesar Rp 235 triliun pada tahun 2017 hingga 2021.
“Kondisi itu menjadi sesuatu yang berbahaya. Karena ini menunjukkan bahwa Indonesia masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil sebagai sumber energi,” jelasnya.
Misalnya saja, sejak tahun 2004, Yuventus mengatakan, Indonesia merupakan negara net importir minyak. Kemudian beberapa bulan terakhir harga komoditas termasuk energi cenderung mengalami kenaikan. Hal tersebut menurutnya akan memberikan dampak terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Namun di sisi lain, sumber energi dan produksi listrik yang berasal dari energi baru dan terbarukan (EBT) mengalami peningkatan produksi. Namun, EBT terhadap total supply energi dan total produksi listrik cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun.
“Kita juga sudah mempunyai EBT seperti solar panel, dari angin atau dari air. Sayangnya dalam beberapa tahun terakhir ini proporsinya malah cenderung menurun,” pungkasnya. (Hartatik)