Jakarta – Meski Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) telah disahkan menjadi RUU usulan DPR di Rapat Paripurna pada pertengahan Juni lalu, namun perjalanannya masih panjang. Target pengesahan RUU tersebut sebelum acara puncak KTT G20 pada November mendatang terancam molor.
Pengamat Energi Terbarukan, Surya Darma mengungkapkan pada hari Minggu (24/7), pembahasan kembali RUU tersebut masih menunggu surat presiden. Hal itu untuk lanjut ke pembahasan daftar inventarisasi masalah bersama Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM).
“RUU energi terbarukan sekarang sudah diajukan oleh DPR kepada Presiden pada pertengahan Juni lalu, dengan judul RUU EBET. Saat ini sedang menunggu Surpres (Surat Presiden) untuk bisa dibahas kembali dengan DPR,” ungkap mantan Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI).
Ketua Komisi Energi DPR Sugeng Suparwoto, sebelumnya menyatakan RUU EBET diharapkan disahkan sebelum acara puncak KTT G20 di Bali pada November mendatang. Badan Legislatif (Baleg) DPR juga telah menyetujui harmonisasi RUU EBET untuk selanjutnya akan dirapatkan kembali di lingkup internal Komisi VII.
Ia berharap agar unsur pemerintah bisa segera merespons draf RUU EBET dalam bentuk Surat Presiden dan disertai dengan lampiran daftar isian masalah. Dalam draf RUU EBET, sumber energi baru yang tertulis di Pasal 9 mencakup sumber energi nuklir, hidrogen, gas metana batubara, batu bara tercairkan, dan batubara tergaskan.
Sementara itu, sumber energi terbarukan mencakup sumber energi panas bumi, angin, biomassa, sinar matahari, aliran dan terjunan air, sampah, limbah produk pertanian dan perkebunan, limbah atau kotoran hewan ternak, serta gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut.
Nantinya, sebagaimana tertulis di Pasal 36 RUU EBET, pengusahaan energi terbarukan digunakan untuk pembangkit tenaga listrik, kegiatan industri, dan transportasi. (Hartatik)