Pemerintah cabut moratorium ekspor CPO, upaya jangka pendek selamatkan petani sawit

oleh: Hartatik

Jakarta – Kelompok masyarakat sipil mendukung kebijakan pemerintah yang mencabut moratorium ekspor crude palm oil (CPO) atau bahan baku minyak goreng. Kebijakan tersebut dinilai bisa memengaruhi harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit terutama di tingkatan petani swadaya.

“Pencabutan moratorium bisa mengurangi potensi kehilangan di sisi ekonomi karena harga CPO sedang bagus dan tidak semua CPO Indonesia tidak bisa diserap pasar domestik,” jelas Manager Riset Traction Energy Asia, Fariz Panghegar kepada tanahair.net, Sabtu (20/5).

Lebih lanjut, saat disinggung pencabutan moratorium sawit bisa berdampak terhadap ekspansi lahan perkebunan sawit mengingat CPO juga sebagai bahan baku pembuatan biodiesel untuk menghasilkan B30, Fariz mengatakan, hal itu tentu saling berkaitan. Namun sebenarnya ada cara untuk menghindari deforestasi, yakni intensifikasi lahan dengan cara replanting agar terjadi peningkatan hasil panen TBS tanpa melakukan perluasan lahan.

Namun saat ini replanting belum maksimal. Saat ini Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) hanya menargetkan penanaman kembali 180 ribu hektar kebun sawit setiap tahun dan itu pun belum maksimal. Apabila intensifikasi lahan tidak tercapai, lanjutnya, pemerintah harus menentukan pilihan antara mengurangi ekspor CPO atau bauran CPO biodiesel, agar mampu memenuhi kuota tanpa membuka lahan baru.

“Jika pemerintah enggan untuk mengurangi ekspor maupun bauran biodiesel, maka harus mulai menjajaki opsi bahan baku alternatif untuk biodiesel, misalnya used cooking oil (UCO) atau minyak jelantah,” imbuhnya.

Indonesia memiliki potensi UCO kurang lebih 1,2 juta kilo liter dari rumah tangga dan unit usaha mikro. Dengan potensi tersebut UCO mampu memenuhi 10% kebutuhan bahan baku biodiesel.

“Tentunya jika kita bisa mengambil UCO dari hotel, restoran, kafe serta industri makanan skala menengah dan besar potensinya akan lebih besar lagi.”

Lebih lanjut, menurutnya, kebijakan moratorium CPO menunjukkan bahwa pemerintah tidak siap menghadapi dinamika pasar CPO. Sebab saat ini belum ada regulasi tata kelola yang mengatur CPO sebagai komoditas pangan, energi dan juga sebagai komoditas ekspor yang menjadi sumber devisa negara.

Sementara itu, mengutip pernyataan bersama petani sawit yang tergabung dalam Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Apkasindo Perjuangan, Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia, Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perkebunan Inti Rakyat, Perkumpulan Forum Petani Kelapa Sawit Jaya Indonesia, Serikat Petani Indonesia, disebutkan kebijakan di Indonesia sangat lemah dan cenderung mendukung oligarki sawit sejak lama.

Sekjen SPKS Mansuetus Darto menuturkan, struktur pasar sawit terdiri dari 5 jaringan. Pertama traders (pedagang), yaitu pihak yang mempunyai kebun dan pabrik CPO, eksportir, membeli CPO dari pihak lain juga, dan punya refinery dalam negeri (minyak goreng, biodiesel) dan bahkan di luar negri. Bisa dibilang menguasai pasar.

Kedua, produsen. Mereka yang memiliki kebun, pabrik CPO, menjual CPO ke traders (pedagang) dan membeli CPO dari pihak lain juga. Ketiga, growers atau perusahaan perkebunan sawit, yaitu punya pabrik sawit olah jadi CPO, sebagian juga punya kebun sawit dan mereka menjual ke produsen, bahkan ada yang ke traders. Keempat, petani plasma, yang bermitra dengan perusahaan sawit. Rata-rata luas lahannya adalah 2 ha/KK.

Kelima, petani swadaya. Yang memiliki lahan sendiri, bangun kebun sawit sendiri, sebagian beli kebun sawit jadi dari orang lain dan mereka menjual secara individu ke ke tengkulak dan ram (tempat jual beli TBS sawit).

“Dengan struktur begini tentunya, tidak adil. Oligarki sawit itu di link (jaringan) 1. Yang mengontrol hulu dan hilir. Semuanya punya untuk infrastruktur bisnis,” kata Mansuetus kepada tanahair.net.

Kalau saja, imbuh dia, minyak goreng dan biodiesel yang dikelola di dalam negeri dan bahan bakunya dari petani sawit, petani diyakini tidak akan terdampak larangan ekspor CPO dan turunannya.

“Makin kuat posisi oligarki sawit itu dimana mereka mengembangkan secara besar-besaran pabrik biodiesel mereka karena insentif dari Pungutan Ekspor (PE) yang diberikan oleh pemerintah,” katanya.

Untuk diketahui, sebelumnya Presiden Jokowi sempat melarang ekspor minyak goreng serta produk turunannya sejak 28 April lalu. Namun Jokowi menarik kembali larangan itu sehingga kegiatan ekspor minyak goreng dan bahan baku lainnya bisa tetap diekspor. Kebijakan ini pun berlaku mulai 23 Mei mendatang.

“Berdasarkan pasokan dan harga minyak goreng saat ini, serta mempertimbangkan adanya 17 juta orang tenaga di industri sawit baik petani, pekerja, dan juga tenaga pendukung lainnya, maka saya memutuskan bahwa ekspor minyak goreng akan dibuka kembali pada Senin 23 Mei 2022,” ujar Jokowi dalam pernyataan resmi yang disiarkan kanal YouTube Sekretariat Presiden, Kamis (19/5).

Dia mengaku bersama jajarannya terus memantau sekaligus mendorong berbagai langkah untuk memastikan ketersediaan minyak goreng bagi masyarakat, sejak larangan ekspor diberlakukan.

Foto banner: Suwit Ngaokaew/shutterstock.com

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles