
JAKARTA – Hingga tahun 2021, sedikitnya 3.270 desa telah berperan dalam pengendalian perubahan iklim, melalui program kampung iklim (Proklim), menurut pejabat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Senin (21/2). Tahun ini, ada empat desa di Kabupaten Gianyar, Bali menjadi proyek percontohan Proklim dalam pengurangan emisi gas rumah kaca.
“Setelah adanya pendampingan Proklim, pengelolaan sampah di keempat desa itu dapat meningkat secara signifikan. Bahkan potensi pengurangan emisi gas rumah kaca dapat meningkat dua kali lipat sebesar 277 Gigagram CO2,” ujar Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3, Rosa Vivien Ratnawati dalam peringatan Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) secara virtual dengan tema ‘Kelola Sampah, Kurangi Emisi dan Bangun Proklim’.
Lebih lanjut, Rosa menambahkan, pengurangan emisi gas rumah kaca dari desa Proklim diharapkan bisa sampai 1.262 Gigagram CO2 pada 2030. Upaya itu dapat tercapai melalui pengelolaan sampah dengan adanya bank sampah, tempat pengelolaan sampah reuse, reduce, dan recycle (TPS3R), serta kegiatan pengolahan kompos yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat sekitar.
Menurutnya, sampah merupakan salah satu sektor yang memberikan kontribusi dalam peningkatan emisi gas rumah kaca. Bahkan gas metana yang dihasilkan dari tempat pemrosesan akhir sampah mengambil peran besar dalam menciptakan efek gas rumah kaca.
Dari pendampingan di lapangan, masih didapati adanya aktivitas pengelolaan sampah yang salah, seperti pembakaran terbuka dan pembuangan sampah secara sembarangan atau ilegal, serta kurangnya maksimal pengelolaan sampah seperti tidak ada pemanfaatan gas metana di TPA dan daur ulang sampah kertas yang masih minim.
“HPSN tahun ini menjadi babak baru dalam pengelolaan sampah di Indonesia, dengan mengusung tiga kegiatan dalam satu program yang bertujuan untuk pelembagaan kepedulian sampah di tengah masyarakat melalui perspektif iklim, pengelolaan sampah dan perhutanan sosial,” imbuhnya.
Sementara itu, Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Alue Dohong dalam sambutannya, mengatakan, sampah menjadi persoalan serius dan multidimensi. Sampah menjadi sumber penurunan kualitas lingkungan, bukan hanya sisi estetika tapi menyumbang gas emisi rumah kaca.
“Indonesia memiliki tanggung jawab menurunkan emisi gas rumah kaca 29% atau 41% dengan dukungan teknologi dan investasi internasional pada 2030,” tukasnya.
Sehubungan itu, pemerintah memastikan dari sektor kehutanan akan mencapai emisi gas rumah kaca yang rendah atau kondisi net zero emission pada 2030. Sedangkan dukungan dari sektor persampahan melalui sistem pengelolaan berantai. Dalam posisinya sebagai substitusi energi, sampah dapat diolah menjadi listrik (PLTSa), pupuk serta bahan baku industri. Dengan demikian tidak ada material terbuang yang menjadi gas. (Hartatik)