
Jakarta — Penelitian terbaru oleh kelompok lingkungan Earthsight dan Auriga Nusantara mengaitkan penebangan liar skala besar di Sumatra Utara dengan banjir dan longsor mematikan yang melanda pulau tersebut pada akhir November, menewaskan lebih dari 1.100 orang dan mengakibatkan lebih dari satu juta orang lainnya mengungsi.
Penyelidikan menemukan bahwa ratusan hektar hutan alam telah ditebang secara ilegal di dalam wilayah konsesi perusahaan pulp dan kayu PT Toba Pulp Lestari (TPL) di Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Toru, salah satu wilayah yang paling parah terdampak oleh bencana.
Lahan yang telah dibersihkan terletak di daerah pegunungan yang curam, secara resmi ditetapkan sebagai hutan lindung dan diakui oleh pemerintah sebagai daerah yang sangat rentan terhadap longsor.
Analisis citra satelit yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tersebut menunjukkan deforestasi yang luas di blok Aek Raja dalam konsesi TPL antara tahun 2021 dan Desember 2025, dengan pembukaan lahan yang semakin cepat pada bulan-bulan menjelang banjir. Para peneliti mendokumentasikan longsor yang terjadi di dekat area yang baru saja dibuka setelah Badai Senyar mendarat pada 26 November.
“Ini bukan hanya bencana alam,” kata Timer Manurung, Ketua Auriga Nusantara, pada peluncuran laporan pada Senin, 29 Desember. “Banyak ahli mengatakan ini juga merupakan bencana lingkungan. Yang kita lihat adalah bagaimana deforestasi di daerah pegunungan memperparah dampak cuaca ekstrem,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa temuan tersebut dimaksudkan untuk mendukung “diskusi dan perdebatan kebijakan yang didasarkan pada fakta.”
Manurung mengatakan bahwa analisis Auriga menggabungkan citra satelit dengan penyelidikan lapangan di daerah aliran sungai yang terkena banjir di Sumatra Utara. “Kami mendokumentasikan jalan logging, alat berat, dan tumpukan kayu tropis di area yang seharusnya dilindungi. Hal ini terjadi dalam skala yang sangat besar selama bertahun-tahun,” katanya. “Sangat sulit dipercaya bahwa aktivitas sebesar ini dapat terjadi tanpa sepengetahuan perusahaan dan otoritas lokal.”
Menurut laporan, setidaknya 758 hektar hutan alam telah ditebang di dalam wilayah konsesi, dengan tambahan 125 hektar yang melampaui batas wilayahnya. Survei lapangan menunjukkan bahwa kayu-kayu tersebut tidak memiliki tanda-tanda yang diwajibkan dalam sistem legalitas kayu Indonesia, yang mengindikasikan kemungkinan sumber kayu yang ilegal.
TPL telah membantah tuduhan tersebut, dengan menyatakan bahwa tidak ada “bukti yang kredibel” yang mengaitkan operasinya dengan banjir dan longsor di Batang Toru.
Dalam tanggapan tertulis tertanggal 23 Desember, perusahaan menyatakan bahwa aktivitasnya sesuai dengan undang-undang Indonesia dan standar keberlanjutan, serta bahwa perusahaan tidak melakukan penebangan hutan alam.
“Berdasarkan data spasial, hidrologi, topografi, dan operasional, peristiwa-peristiwa ini tidak dapat dikaitkan dengan aktivitas TPL,” kata perusahaan tersebut, sambil menambahkan bahwa deforestasi yang diidentifikasi oleh Earthsight dan Auriga merupakan hasil dari “aktivitas pihak ketiga yang tidak sah” di luar kendali perusahaan.
TPL juga menyatakan bahwa beberapa wilayah yang terdampak merupakan bagian dari lahan yang dikelola oleh masyarakat dalam skema kemitraan kehutanan dan menegaskan bahwa penanaman yang dilakukan oleh perusahaan merupakan rehabilitasi yang diwajibkan sesuai dengan izin yang dimilikinya.
Para peneliti membantah penjelasan tersebut, dengan mencatat bahwa beberapa area yang ditebang secara ilegal telah ditanami dengan ekaliptus monokultur, pola yang menurut mereka tidak konsisten dengan perambahan pihak ketiga. “Mengapa penebang ilegal menanam kembali eucalyptus?” tanya Manurung selama konferensi pers. “Ini terlihat seperti perluasan bertahap operasi perkebunan.”

Kementerian Kehutanan telah menyegel lima lokasi di kawasan Tapanuli, termasuk dua di dalam wilayah konsesi TPL, sebagai bagian dari penyelidikan yang sedang berlangsung. Presiden Prabowo Subianto telah memerintahkan audit terhadap perusahaan tersebut, sementara Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan bahwa bencana tersebut “tidak dapat sepenuhnya disebabkan oleh faktor alam.”
Auriga dan Earthsight mendesak pemerintah untuk menyelidiki ke mana kayu yang ditebang secara ilegal tersebut dibawa, menuntut pertanggungjawaban pihak yang bertanggung jawab, dan mengeluarkan peraturan yang lebih ketat untuk melindungi hutan alam yang tersisa. Mereka juga menyerukan kepada pembeli internasional produk pulp dan rayon untuk memeriksa rantai pasokan mereka terkait dengan deforestasi di Sumatra.
“Tragedi ini harus menjadi titik balik,” kata Manurung. “Jika kita tidak menghentikan deforestasi di daerah-daerah rentan, bencana seperti ini akan terus terjadi.” (nsh)
Foto banner: Gambar drone yang menunjukkan kerusakan parah akibat bencana banjir baru-baru ini di Sumatra. Sumber: Auriga Nusantara


