Jakarta – Para peneliti mendesak agar Indonesia memiliki climate data center dengan akurasi tinggi untuk menjadi alarm nasional yang mampu memberi peringatan dini bagi wilayah rawan bencana sebelum dampak meluas terjadi. Pusat data iklim khusus yang mampu membaca perubahan cuaca ekstrem secara presisi hingga skala lokal dinilai penting untuk memprediksi bencana hidrometeorologi yang semakin sering terjadi.
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Erma Yuli Hastin menilai sistem yang ada masih bercampur antara pemodelan kebencanaan dan cuaca umum, sehingga kurang mampu menangkap dinamika iklim ekstrem yang terjadi secara tiba-tiba. “Indonesia sampai hari ini belum memiliki climate data center yang betul-betul didedikasikan untuk perubahan iklim,” kata Erma melalui keterangan tertulis, Jumat, 19 Desember.
Ia menjelaskan, sebagian besar model dan perangkat yang digunakan saat ini belum sepenuhnya sesuai dengan karakter geografis dan demografis Indonesia yang kompleks, terdiri dari ribuan pulau dengan banyak kantong wilayah rentan bencana. Kondisi tersebut membuat pembacaan risiko kerap bersifat terlalu umum dan terlambat menjangkau kebutuhan daerah.
Menurut Erma, Indonesia perlu beralih ke penggunaan earth system model yang didukung oleh high performance computing dinilai menjadi prasyarat utama agar data iklim dapat diterjemahkan menjadi peringatan yang relevan bagi masyarakat.
Ia menekankan, pusat data iklim yang dirancang khusus untuk perubahan iklim harus mampu membaca data dengan presisi spasial minimal dalam radius satu kilometer. Dengan tingkat ketelitian tersebut, peringatan dini dapat disesuaikan dengan kondisi lokal, bukan sekadar prediksi berskala regional atau nasional.
“Model global sudah bisa menangkap bahwa Senyar akan mendarat dengan peluang 90 sampai 100 persen,” ujar Erma, merujuk pada kemampuan teknologi global yang seharusnya bisa diadaptasi untuk konteks Indonesia.
Sementara itu, Direktur Eksekutif New Future Disaster Management Centre (NF-DMC) Rizkia Norinayanti menegaskan bahwa peringatan dini cuaca ekstrem hanya akan efektif jika diintegrasikan dengan sistem kesiapsiagaan yang kuat. Ia menilai informasi ilmiah semata tidak cukup bila tidak diterjemahkan menjadi tindakan konkret di lapangan.
“BMKG memberikan informasi peringatan dini, tapi tidak sampai ke masyarakat. Yang mengoperasionalkan informasi itu menjadi tindakan kesiapsiagaan adalah BNPB,” kata Rizkia.
Menurutnya, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) harus memegang kendali penuh dalam pengelolaan dan pemanfaatan sistem peringatan dini. Hal ini karena BNPB memiliki mandat langsung untuk melakukan sosialisasi, edukasi risiko, serta memastikan kesiapsiagaan masyarakat di daerah rawan bencana.
“BNPB dinilai memiliki kapasitas untuk mengelola alat peringatan dini, karena mereka punya tugas memberikan sosialisasi kesiapsiagaan bencana kepada masyarakat,” ujarnya.
Rizkia juga mengingatkan bahwa peringatan dini tidak akan efektif tanpa pemahaman risiko di tingkat komunitas. Tanpa gambaran yang jelas mengenai ancaman yang dihadapi, masyarakat cenderung mengabaikan peringatan yang disampaikan.
“Kalau masyarakat tidak punya gambaran risikonya, peringatan tidak selalu diikuti perubahan perilaku,” tutur Rizkia. (Hartatik)
Foto banner: Jalan tertimbun longsoran di wilayah Kabupaten Tapanuli Utara. 10 Desember 2025. Sumber: BNPB


