Memberikan otonomi yang lebih besar kepada pemerintah daerah dan memprioritaskan hak asasi manusia adalah kunci untuk mewujudkan tujuan energi terbarukan Indonesia, menurut dua orang peneliti.
oleh: Muhammad Arief Virgy dan Hanifah Alya Chaerunnisaa
Energi panas bumi merupakan bagian penting dari rencana Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca hingga nol bersih pada tahun 2060. Indonesia berencana menambah kapasitas terpasang sebesar 5,2 gigawatt (GW) pada periode 2025-2034, dibandingkan dengan kapasitas saat ini sebesar 2,7 GW, menurut kantor berita Antara.
Pada tahun 2060, targetnya adalah mencapai kapasitas panas bumi non-variabel sebesar 22,7 GW, terutama melalui pembangkit listrik skala besar. Dengan target ini, tujuannya adalah menarik investasi untuk pembangkit listrik tersebut, yang direncanakan untuk menggantikan fasilitas pembangkit listrik berbahan bakar batu bara; memenuhi tujuan net-zero negara dengan menyediakan pasokan dasar yang stabil; dan memastikan keandalan jaringan listrik.
Indonesia memiliki cadangan panas bumi terbesar di dunia, berkat lokasinya yang berdekatan dengan batas lempeng tektonik, dengan perkiraan berkisar antara 23 hingga 29,5 GW, atau sekitar 40% dari potensi panas bumi global.
Lokasi panas bumi utama tersebar di provinsi-provinsi seperti Sumatra, Jawa, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Timur. Namun, keputusan strategis, seperti di mana memungkinkan eksploitasi panas bumi, tetap menjadi kewenangan pemerintah pusat dan bukan pada pemerintah daerah.
Sentralisasi semacam itu memicu konflik antara pemerintah pusat dan pemangku kepentingan lokal, serta menyebabkan resistensi masyarakat terhadap proyek panas bumi dan proyek energi lainnya.
Kami yakin pemerintah daerah perlu diberikan wewenang yang lebih besar dalam hal pengembangan panas bumi agar mereka dapat berupaya mewujudkan keadilan energi.
Kami mendesak agar pengambilan keputusan dan partisipasi dalam produksi, perdagangan, perencanaan, dan regulasi energi didesentralisasikan.
Secara khusus, kami mengusulkan desentralisasi asimetris atau disesuaikan, di mana pemerintah daerah yang berbeda diberikan tingkat otonomi atau wewenang yang bervariasi. Hal ini akan memungkinkan penerapan kebijakan yang berbeda sesuai dengan potensi sumber energi masing-masing wilayah dan memungkinkan setiap pemerintah daerah mengelola transisi energinya sesuai dengan kebutuhan uniknya.
Ketimpangan kekuasaan
Berdasarkan peraturan tahun 2018, pemerintah pusat berwenang untuk menetapkan kawasan di mana eksplorasi atau eksploitasi panas bumi dapat dilakukan, yang dikenal sebagai “wilayah kerja panas bumi” atau WKP. Pemerintah pusat juga berwenang untuk menugaskan badan usaha milik negara atau lembaga pelayanan publik untuk melaksanakan pekerjaan tersebut di dalam WKP. Peraturan tahun 2023 memperkuat kendali pemerintah pusat atas sumber daya panas bumi dan sumber daya terbarukan lainnya dengan secara eksplisit memberikan wewenang kepada pemerintah pusat untuk mengeluarkan rekomendasi agar proyek pembangkit listrik dapat dilanjutkan.
Hal ini berarti bahwa peran pemerintah daerah terbatas pada pengelolaan pengembangan proyek panas bumi setelah proyek tersebut disetujui oleh pemerintah pusat.
Pembagian kewenangan ini seringkali menjadi sumber ketegangan bagi pemerintah daerah. Pemerintah pusat cenderung menekankan kepentingan nasional seperti target bauran energi dan investasi strategis yang luas saat mempromosikan pengembangan panas bumi dan energi lainnya. Di sisi lain, pemangku kepentingan lokal umumnya lebih fokus pada implikasi langsung terhadap perencanaan ruang, mata pencaharian masyarakat, dan dampak lingkungan di wilayah mereka.
Contohnya Bandung. Pada tahun 2023, Bupati Bandung Dadang Supriatna menyatakan dalam pertemuan antara perwakilan perusahaan geotermal dan kepala desa bahwa 3.000 keluarga masih belum memiliki akses listrik. Ia menyoroti bahwa sebagian besar dari mereka tinggal tidak jauh dari lokasi operasional perusahaan panas bumi, dan menyerukan agar perusahaan-perusahaan tersebut mengalokasikan dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) agar warga desa dapat mengakses listrik.
Ketimpangan kekuasaan juga meluas ke bidang penggalangan dan pengeluaran pendapatan.
Transfer fiskal dan pengendalian anggaran sangat terpusat. Pemerintah daerah hanya memiliki wewenang perpajakan yang terbatas, seperti pajak air, kendaraan, dan hotel. Sementara itu, pajak-pajak utama – pajak penghasilan, barang mewah, dan PPN – tetap berada di bawah kendali pusat. Pemerintah daerah tidak dapat menetapkan tarif atau memperluas basis pajak untuk sumber pendapatan yang signifikan, sehingga mereka bergantung pada transfer pusat untuk sebagian besar anggaran mereka. Mereka tidak memiliki pilihan selain mengikuti keputusan fiskal pemerintah pusat.
Hal ini terjadi di Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang ditetapkan oleh pemerintah pusat sebagai salah satu wilayah prioritas Indonesia untuk pengembangan panas bumi. Sama seperti sejumlah provinsi lain yang memiliki investasi sektor swasta yang terbatas, struktur pendapatan Provinsi Nusa Tenggara Timur masih sangat bergantung pada transfer fiskal dari pemerintah pusat.
Hal ini menempatkan wilayah-wilayah seperti itu dalam posisi yang rentan, terutama ketika pemerintah pusat menerapkan langkah-langkah efisiensi anggaran atau mengalihkan dana untuk kepentingan nasional lainnya. Sebagai contoh, untuk membiayai program prioritas Presiden Prabowo Subianto – termasuk inisiatif koperasi desa “Merah Putih” yang kontroversial untuk mendorong pertumbuhan lokal dan program makanan bergizi gratis – transfer fiskal ke Nusa Tenggara Timur dikurangi sebesar Rp 184 miliar per Februari. Ini mewakili 4,2% dari anggaran belanja daerah Nusa Tenggara Timur tahun 2024 sebesar Rp 4,36 triliun, menandakan pengetatan fiskal yang signifikan. Pemotongan lebih lanjut diperkirakan akan terus berlanjut.
Selain itu, proyek panas bumi juga seringkali merugikan pendapatan lokal. Petani berisiko kehilangan Rp 470 miliar pada tahun pertama pembangunan pembangkit listrik panas bumi di tiga lokasi di Pulau Flores. Hal ini berdasarkan model ekonomi dalam studi tahun 2024 yang dilakukan oleh LSM lingkungan WALHI dan Center for Economic and Law Studies (CELIOS), sebuah lembaga think tank di Jakarta. Pembangkit listrik tersebut juga akan bersaing dengan masyarakat lokal dalam hal pasokan air.
Direncanakan di pusat, dirasakan secara lokal.
Peta Jalan Transisi Energi Indonesia, yang menetapkan energi panas bumi sebagai pilar utama pembangkitan listrik, ditandatangani pada bulan April setelah dikembangkan oleh pemerintah pusat.
Proyek-proyek seperti perluasan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) Ulumbu, yang berlokasi di Poco Leok di sisi barat Pulau Flores, memainkan peran kunci dalam mencapai tujuan energi yang tercantum dalam peta jalan. Namun, menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), proyek ini mengancam akan menggusur 4.506 orang dari 14 masyarakat adat dari 3.778 hektar tanah adat mereka.

Warga menolak proyek tersebut, khawatir proyek tersebut akan mengancam tanah adat, sumber air, dan warisan budaya mereka. Pada perayaan Hari Lingkungan Hidup pada bulan September di Kabupaten Manggarai, tempat Ulumbu berada, protes dilaporkan menghadapi intimidasi dari bupati Manggarai dan pendukungnya.
Perkembangan ini merupakan contoh lain yang jelas dari ketidakseimbangan kekuasaan dalam tata kelola panas bumi di Indonesia, yang dapat dirangkum sebagai “direncanakan secara terpusat, namun dampaknya dirasakan secara lokal.”
WKP di Pulau Flores ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah pusat. Ketidakhadiran mekanisme konsultasi yang berarti dalam proses ini berisiko mengabaikan suara masyarakat sipil, mengesampingkan hak atas tanah adat, dan melemahkan partisipasi lokal dalam proses pengambilan keputusan. Hasil-hasil ini bertentangan dengan prinsip-prinsip transisi energi yang adil dan inklusif.
Argumen untuk desentralisasi asimetris
Desentralisasi asimetris memungkinkan pemerintah daerah memiliki otonomi yang lebih besar dalam mengelola transisi energi di wilayah mereka.
Sistem ini berlaku untuk beberapa wilayah yang memiliki kesiapan yang lebih baik untuk mengambil peran yang lebih besar dalam mengelola agenda transisi energi mereka. Kesiapan pemerintah daerah dapat ditentukan oleh indikator pembangunan seperti Indeks Kesiapan Transisi Energi Regional yang dikembangkan oleh CELIOS, yang ditandai oleh tiga dimensi: inisiatif energi bersih, ketahanan ekonomi, dan kapasitas pemerintah.
Pendekatan bottom-up ini menempatkan daerah sebagai aktor utama dalam mempercepat transisi energi dengan memberikan mereka otonomi yang lebih besar untuk merancang rencana energi lokal, mengidentifikasi sumber daya terbarukan, dan melibatkan pemangku kepentingan lokal dalam proses pengambilan keputusan.
Menurut Indeks CELIOS, Nusa Tenggara Timur masih “menunjukkan potensi untuk perbaikan”, dengan inisiatif energi bersih dan ketahanan ekonomi mendapatkan skor rendah dan sedang pada indeks – menunjukkan bahwa kesiapan institusional dan teknisnya masih terbatas. Oleh karena itu, setiap langkah menuju desentralisasi asimetris untuk provinsi ini, serta wilayah lain yang berada pada tingkat serupa, harus disertai dengan pembangunan kapasitas dan dukungan ekonomi untuk memastikan mereka dapat menjalankan tanggung jawab yang lebih besar secara efektif.
Semua hal ini sangat relevan mengingat investor asing semakin memprioritaskan perlindungan hak asasi manusia dan lingkungan dalam keputusan investasi mereka terkait transisi energi. Laporan dari Prinsip Investasi Bertanggung Jawab yang didukung PBB menyoroti betapa pentingnya uji tuntas atau due diligence rantai pasok terkait hak asasi manusia dan lingkungan dalam investasi yang bijaksana. Due diligence yang lemah dapat memicu kerugian finansial, operasional, dan reputasi.
Dengan mengadopsi desentralisasi asimetris, konflik-konflik di masa depan seperti yang terjadi di Pulau Flores berpotensi dihindari, karena masyarakat yang terdampak kemungkinan besar akan memiliki suara yang lebih kuat dalam pengembangan proyek energi di wilayah mereka. Dengan demikian, Indonesia dapat mengubah proyek panas bumi dari sumber perlawanan menjadi jalur menuju pembangunan inklusif, pemberdayaan masyarakat, dan transisi energi yang benar-benar adil yang juga menarik bagi investor global.
Artikel ini pertama kali diterbitkan dalam bahasa Inggris oleh Dialogue Earth pada 7 November 2025, dengan judul: “Indonesia’s geothermal governance must empower local people”
Foto banner: Petani merawat ladang mereka sementara uap mengepul dari pembangkit listrik tenaga panas bumi di Dieng, Jawa Tengah (Foto: Beawiharta / Associated Press / Alamy)


