Dana segar Rp 14,4 T dari Cina siap dorong ambisi energi surya 100 GW

Jakarta – Ambisi Indonesia membangun 100 gigawatt (GW) energi surya mendapat dukungan investasi Cina melalui skema Belt and Road Initiative (BRI), dengan potensi mencapai USD 900 juta atau setara Rp 14,4 triliun, menurut para pengamat. Investasi ini diproyeksikan menjadi salah satu pendorong utama percepatan transisi energi, terutama pada era pemerintahan Presiden Prabowo.

Direktur Eksekutif Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (SUSTAIN), Tata Mustasya, Kamis, 6 November, menyebut angka itu baru awal dari potensi pembiayaan jangka panjang. Menurutnya, jumlah investasi tersebut menurut analisis SUSTAIN “berdasarkan data historis BRI … bisa dialokasikan untuk pengembangan energi terbarukan selama 10 tahun ke depan. Angka riilnya tentu bisa lebih besar lagi,” ujar Tata.

Kajian terbaru SUSTAIN dan CERAH menunjukkan bahwa arus pendanaan dari Cina ke sektor energi terbarukan masih terus menguat.

Indonesia menjadi penerima investasi BRI terbesar di Asia Tenggara dengan kucuran USD 9,3 miliar pada 2024, yang diproyeksikan menciptakan lebih dari 191 ribu lapangan kerja. Dari total investasi tersebut, USD 900 juta atau sekitar Rp 14,4 triliun mengalir ke sektor energi, di mana 56 persen diarahkan khusus untuk proyek berbasis energi terbarukan.

Menurut laporan itu, dana sebesar ini cukup untuk mendukung implementasi RUPTL 2025–2034 dan sekaligus menggerakkan proyek energi surya berskala raksasa hingga 100 GW.

Tata mencontohkan, skala investasi tersebut setara dengan 80 proyek sekelas Pembangkit Listrik Tenaga Surya Terapung Cirata. “Dengan kapasitas listrik sebesar itu, sebanyak 4 juta rumah tangga bisa merasakan manfaatnya,” tegasnya.

Selain penyediaan listrik bersih, pembangunan PLTS dalam jumlah besar itu berpotensi menghasilkan 112 ribu lapangan kerja baru, menurunkan emisi karbon hingga 17,12 juta ton, dan mempercepat elektrifikasi wilayah pesisir.

Kolaborasi industri dan kendaraan listrik

Investasi hijau dari Cina tidak hanya mengalir ke sektor kelistrikan. Indonesia juga tengah memantapkan diri sebagai pusat produksi kendaraan listrik (EV) di kawasan Asia Tenggara. Saat ini dua proyek besar sedang berjalan: pabrik BYD senilai USD 1,3 miliar di Subang dan fasilitas produksi baterai CATL di Karawang. Langkah ini menempatkan Indonesia pada jalur persaingan langsung dengan Thailand sebagai hub EV.

China World Resources Institute (WRI) juga melihat pentingnya pendekatan yang inklusif. Direktur Keuangan WRI, Shuang Lin, menilai kolaborasi akan semakin efektif jika melibatkan komunitas lokal dan transfer pengetahuan. “Sebagai bentuk komitmen, para investor menyediakan peralatan dan pelatihan vokasi khusus untuk membangun kapabilitas tenaga kerja lokal, yang akan memacu kesuksesan kolaborasi ini,” ujarnya.

Dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Ardhitya Eduard Yeremia Lalisang, mengingatkan bahwa pemerintah perlu memastikan dampak investasi dirasakan luas, terutama oleh warga sekitar proyek. Ia menekankan agar peluang kerja tidak hanya dinikmati lulusan berpendidikan tinggi.

“Regulasi dan implementasinya harus berubah dari pendekatan top-down ke orientasi masyarakat. Sebelum menyusun kebijakan, kita harus mempertanyakan bagaimana ini dapat bermanfaat bagi masyarakat yang benar-benar membutuhkan,” tegasnya. (Hartatik)

Foto banner: Kelly/Pexels.com

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles