Aktivis lingkungan: SNDC Indonesia terlalu rendah dan tanpa rencana jelas

Jakarta – Organisasi 350.org menilai dokumen target iklim terbaru Indonesia atau Second Nationally Determined Contribution (SNDC) yang baru diserahkan pemerintah ke Sekretariat UNFCCC tidak mencerminkan keseriusan dalam mengurangi emisi karbon maupun mempercepat transisi energi bersih.

Dalam pernyataannya, Kamis, 30 November, para aktivis mengatakan bahwa angka penurunan emisi yang kecil, lambannya rencana pengakhiran batu bara, dan minimnya partisipasi publik hanyalah tanda bahwa Indonesia masih jauh dari komitmen iklim global yang ambisius.

“Target iklim Indonesia sangat mengecewakan. Ini jauh dari janji Presiden Prabowo untuk mencapai 100% energi terbarukan dalam 10 tahun dan menghentikan batu bara dalam 15 tahun,” kata Pemimpin Tim 350.org Indonesia, Sisilia Nurmala Dewi.

Menurutnya, ada kesenjangan besar antara retorika politik dan kebijakan nyata di lapangan. “Kebijakan resmi ini menunjukkan komitmen yang lemah terhadap aksi iklim dan menunda langkah tegas yang seharusnya sudah dimulai sekarang”.

Dalam SNDC yang diajukan, pemerintah memproyeksikan puncak emisi nasional akan terjadi pada 2030 dengan tingkat penurunan hanya 8–17,5% dibanding skenario sebelumnya. Setelah itu, penurunan baru akan terasa pada 2035.

Porsi energi terbarukan pun hanya ditargetkan 19–23% pada 2030 — angka yang dinilai sangat rendah dibanding komitmen G20 untuk melipatgandakan kapasitas energi bersih hingga sekitar 40% pada tahun yang sama.

Tanpa strategi jelas hentikan energi fosil

350.org menilai SNDC tidak menyertakan rencana konkret untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil. Tidak ada peta jalan pensiun dini pembangkit listrik tenaga batu bara, padahal sektor energi menjadi penyumbang emisi terbesar di Indonesia.

Selain itu, dokumen tersebut masih didasarkan pada asumsi bahwa pertumbuhan ekonomi harus diiringi peningkatan emisi. Pandangan ini dianggap keliru, karena sejumlah negara telah membuktikan bahwa transisi energi dapat berjalan seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan.

Aktivis juga menyoroti strategi pemerintah yang terlalu bergantung pada sektor kehutanan dan lahan (FOLU) untuk menutupi lambannya dekarbonisasi di sektor energi. Dalam strategi *Net Zero Emission* 2060, pemerintah menargetkan sebagian besar penyerapan emisi berasal dari hutan dan lahan, bukan dari pengurangan langsung di sumber polusi utama.

“Pendekatan ini hanya menyembunyikan kegagalan sektor energi beralih dari bahan bakar fosil. IPCC telah menegaskan bahwa FOLU memang penting, tapi tidak bisa menggantikan kebutuhan mendesak untuk memangkas emisi dari sektor energi,” ujar Sisilia.

Minim partisipasi publik

Selain isi kebijakan, proses penyusunannya juga dipersoalkan. Pemerintah menggelar konsultasi publik pada 23 Oktober, hari yang sama dengan pengiriman resmi SNDC ke UNFCCC. Hal ini dianggap sebagai formalitas tanpa ruang partisipasi masyarakat sipil yang berarti.

“Tidak ada mekanisme yang jelas bagi publik untuk memengaruhi keputusan. Proses tertutup seperti ini hanya akan memperburuk ketidakadilan iklim, terutama bagi komunitas rentan yang paling terdampak,” kata Sisilia.

350.org mendesak pemerintah meninjau ulang SNDC dan menyusun strategi yang lebih ambisius dan terukur. Langkah utama yang harus diambil, menurut kelompok ini, meliputi rencana penghentian batu bara dan bahan bakar fosil yang jelas dan terjadwal, kenaikan target energi terbarukan hingga minimal 40% pada 2030 dan partisipasi publik yang transparan dan inklusif dalam setiap tahap perumusan kebijakan.

“Pemerintah harus berhenti bersembunyi di balik hutan dan mulai menghadapi kenyataan bahwa masa depan energi Indonesia bergantung pada keberanian mengambil keputusan sekarang, bukan nanti,” tegas Sisilia. (Hartatik)

Foto banner: Gambar dibuat oleh DALL-E OpenAI melalui ChatGPT (2024)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles